Minggu, 12 Desember 2010

Koperasi pertanian Jepang (Nokyo) berdasarkan UU Koperasi Pertanian 1947 dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Indonesia berdasarkan Inpres 4/1984 dan menggunakan model New Institutionalism in Economic Sociology

Bila mengacu pada model New Institutionalism in Economic Sociology, yaitu sebagai model yang lebih menekankan pada pembangunan etika pembentukan koperasi. Maka bersumber pada pemikiran Nee (2005), berdasarkan pada pendekatan yang  dikemukakan oleh Granovetter mengenai ketertambatan (embeddedness) jaringan sosial, norma, dan kepercayaan dalam struktur sosial untuk merevitalisasikan logika studi sosiologi ekonomi. Lebih jauh, Granovetter disini berpendapat bahwa ada suatu ikatan interpersonal yang diyakini untuk memainkan peranan penting dalam pasar maupun perusahaan.[1]

Sehingga disini dapat dijelaskan bahwa koperasi pertanian Jepang (Nokyo) berdasarkan UU Koperasi Pertanian 1947 merupakan sebuah koperasi pertanian yang dibentuk atas dasar  undang-undang pertanian, dengan tujuan bahwa dengan adanya undang-undang tersebut maka dapat mendorong sistem pembangunan organisasi koperasi pertanian dengan cara meningkatkan berbagai kekuatan-kekuatan produktif pertanian. Selain itu juga, Nokyo mampu bertujuan untuk memperbaiki berbagai status sosial ekonomi masyarakat petani Jepang dalam membantu dan memperbaiki pembangunan ekonomi bangsa secara keseluruhan.  

Dalam pembangunannya, Nokyo memiliki peranan yang sangat penting dalam gerakan koperasi Jepang. Misalnya saja dalam pembentukan Buraku sebagai sebuah organisasi di pedesaan Jepang yang dianggap sebagai sebuah unit sosial dan ekonomi yang memiliki peranan yang sangat penting di dalam memproduksi pertanian dan rumah tangga petani. Buraku pun dalam hal ini, telah dibentuk dalam jangka waktu ratus tahun yang lalu dibawah sistem feodal (Morita 1960, Kurata 1989). Sedangkan dalam institusionalisasinya, Buraku berusaha untuk menjadi Bunokai atau jikko han di dalam struktur Nokyo. Sehingga oleh Nokyo, Buroku diubah menjadi kyoroku soshiki, yang beranggotakan seluruh petani yang tinggal di wilayah yang sama tetapi memiliki komoditi yang berbeda, dan memiliki sistem kegotongroyongan yang berada di dalam area yang sama.

Lain halnya dengan Koperasi Unit Desa (KUD). Menurut Inpres 4/1984, KUD  merupakan suatu bentuk koperasi yang dibentuk oleh warga desa dari desa atau dalam desa-desa yang merupakan bagian dari satu kesatuan masyarakat terkecil dari unit desa. Dalam KUD pun, yang berkualifikasi untuk masuk ke dalam bisnis koperasi tidak hanya petani tetapi siapa pun yang berada di dalam desa maupun unit tersebut dapat ikut serta dalam keanggotaan koperasi. Selain itu, economic productive resource dalam koperasi di Indonesia lebih diperhatikan dibandingkan sumber-sumber non-ekonomi produktif, seperti gotong royong, dan sistem kerjanya. Dalam hal ekspor barang KUD pun tidak membutuhkan adanya hirarki konsumsi untuk mencapai tingkat nasional.

Dari definisi mengenai Nokyo maupun KUD diatas apabila mengacu  pada pemikiran Nee yang bersumber dari pemikiran Granovetter,  disini dapat dijelaskan bahwa dalam model New Institutionalism in Economic Sociology dalam Nokyo terjadi suatu mekanisme integrasi hubungan formal maupun informal pada level tataran mikro, yaitu individu penduduk petani Jepang, meso (kelompok ataupun organisasi Buraku) serta tataran makro yang berupa lingkungan kebijakan (policy environment, yaitu Nogyo Hojin). Mengingat bahwa Nokyo, yang berupa koperasi pertanian Jepang merupakan koperasi yang anggotanya haruslah seluruh petani yang tinggal di wilayah yang sama tetapi memiliki komoditi yang berbeda, dan memiliki sistem kegotongroyongan yang berada di dalam area yang sama, tentunya mereka memiliki kepentingan yang sama untuk bersama-sama mengolah area pertanian di Jepang. Hal itulah yang tergambar dari 4 tipe keanggotaan koperasi primer di desa Jepang,[2] yaitu Kyoryoku soshiki (cooperating organizations) penduduk Jepang yang bertempat tinggal di daerah tersebut, selanjutnya Jishu Katsudo soshiki (autonomous organizations) para pemuda, dan wanita, Kanren soshiki (contact organizations kelompok study pajak, dan yang terakhir adalah Gyoshubetsu seisan soshiki (production groups) yaitu kumpulan para kelompok produksi. Dengan tipe keanggotaan tersebutlah yang menjadikan komponen di dalamnya menjadi satu kesatuan, jika salah satu komponen jaringan sosial di dalamnya keluar atau terputus, secara tidak langsung akan membuat produksi pertanian menjadi berantakan/tidak terlaksana. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pemerintah Jepang selalu memberikan penyuluhan di setiap unit koperasi pertanian Jepang.  

Selain melakukan penyuluhan, Nokyo pun banyak pula diatur oleh UU mengingat bahwa dasar UU Jepang adalah bersifat demokrasi, kapitalis, serta liberty tetapi berdasar pada kegotongroyongan. Dengan adanya basis UU tersebut, diharapkan Nokyo dalam jaringan sosialnya tidak hanya digharapkan mampu untuk tunduk  pada UU  Koperasi Pertanian (Nokyo Kikan Teki Jigyo) saja tetapi mampu pula untuk diatur dan tunduk pada selain UU Koperasi Pertanian (Fukateki Jigyo), yang meliputi; Farm Management Consigment (Jutaku Nogyo Keiei Jigyo);  Agricultural Land Trust Business (Nochi Shintaku Jigyo); Residential Land Business (Takuchi Nado Kankei Jigyo); Credit and other related bussness (Shinyo Jigyo Kankei Fuka Jigyo); Credit Business to Non Member Institutions (Tokubetsu Shikin Kashi Tauke no Jigyo), serta dapat mampu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan bisnis yang diatur dan tunduk secara khusus pada UU tersendiri seperti UU Bisnis Pergudangan Pertanian (Nogyo Soko Gyo Ho), UU Kantor Pos (Kani Yubinkyoku Ho), UU Asuransi Kesehatan (Kyukomin Kenko Hoken Ho), dan UU Pokok Pensiun Petani (Nogyosha Nenkin Kikin Ho).

Sehingga dengan berbagai interaksi dalam jaringan sosial tersebut Nokyo tidak hanya mampu untuk berjalan sesuai dengan yang diharapkan saja tetapi mencegah timbulnya  ketidakmerataan pada sistem bisnis maupun produksi koperasi Jepang. Karena seperti yang diketahui, bahwa dalam koperasi pertanian Jepang sistem kegotongroyongannya atau relasi sosialnya berdasarkan pada kualifikasi kemampuan petani Jepang, sehingga apabila posisi kelompok, organisasi maupun komunitas dalam sistem relasi sosial Nokyo dapat berjalan dengan baik maka akan memberikan hasil yang baik pula bagi pemberdayaan akses koperasi pertanian Jepang. Karena dengan kuatnya jaringan proposisi bisnis pertanian Jepang dan semakin lemahnya ikatan sosial maka akan memberikan asosiasi positif bagi sumber produksi pertanian di Jepang. 

Tetapi hal ini sedikit berbeda dengan KUD di Indonesia, dimana dalam inpres 4/1984 dalam pembinaan dan pengembangan KUD banyak sekali departemen yang harus terlibat didalmnya untuk membina usaha KUD. Bahkan dalam sistem kerjanya pun, banyak pihak yang harus terlibat secara terpadu dan berkoordinasi dalam tugasnya di dalam KUD, karena melihat bahwa dalam inpres 4/1984 merupakan titik awal dalam menjalankan penyuluhan KUD. Selain itu, dalam instruksi presiden RI No 4 Tahun 1984 Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa pengembangan KUD diarahkan agar KUD dapat menjadi pusat layanan kegiatan perekonomian di daerah pedesaan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional dan dibina serta dikembangkan secara terpadu melalui program lintas sektoral.[3] Disini pun terdapat hubungan mekanisme integrasi hubungan formal maupun informal pada level tataran mikro, yaitu individu yang tergabung di dalamnya (siapapun tidak dibatasi), meso (kelompok ataupun organisasi) serta tataran makro yang berupa lingkungan kebijakan (policy environment/ pemerintah). Dalam KUD pemerintah sebagai tataran makro berusaha untuk memberikan masyarakat selaku anggota dalam koperasi Indonesia agar dengan mudah menikmati kemakmuran secara merata dengan tujuan masyarakat yang adil dan makmur agar mampu untuk mencapai  pembangunan di bidang ekonomi, misalnya dengan memberikan kredit kepada pihak-pihak yang ekonominya masih lemah atau rakyat kecil terutama di daerah pedesaan.

Dalam usahanya, KUD diarahkan pada usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota, baik untuk menunjang usaha maupun kesejahteraannya. Melihat kebutuhan anggotanya yang dapat dikatakan beranekaragam, maka usaha koperasi multipurpose, dalam hal ini KUD  adalah menjadikan koperasi mempunyai beberapa bidang usaha, dalam hal usaha simpan pinjam, perdagangan, produksi, konsumsi, kesehatan, dan pendidikan. Karena dalam  peranannya KUD tidak semata-mata hanya mencari benefit dalam bidang pertanian seperti Nokyo. Mengingat bahwa dalam KUD, economic productive resource lebih diperhatikan dibandingkan sumber-sumber non-ekonomi produktif, seperti gotong-royong, dan sistem kerjanya. Dalam hal ekspor barang KUD pun tidak membutuhkan adanya hirarki konsumsi untuk mencapai tingkat nasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa muncul adanya ketertambatan (embeddedness) dalam tindakan non-ekonomi produktif dalam kegiatan ekonomi KUD, yang akan mengakibatkan jaringan sosial KUD menjadi sulit untuk dibentuk.

Sehingga dengan hal itu, KUD akan berperan lebih baik lagi apabila jaringan kerja koperasi dalam aspek non-ekonomi dapat dimasukkan sebagai tindakan yang secara produktif, efektif, dan efisien mampu  mewujudkan pelayanan usaha koperasi maupun anggotanya, agar mampu bersaing dengan badan usaha lain diluar koperasi. Melihat bahwa dalam sistem pengelolaannya yang berbasis economic productive resource telah dibentuk oleh KUD sebaik mungkin maka tidak ada salahnya apabila beberapa jaringan kerja seperti yang telah disebutkan diatas mampu dikelola dengan baik. Agar dalam sistem jaringan kerja pemasaran, produksi, keuangan, personil, pembelian, sistem informasi manajemen dan organisasi dapat berjalan dengan yang ditentukan. Begitu pun dengan faktor internal, seperti peran serta anggota, aktivitas dan sumber daya manusia serta faktor eksternal terhadap kinerja KUD sangat dibutuhkan dalam pembentukan koperasi di Indonesia khususnya di pedesaan. Hal ini karena peran serta anggota merupakan faktor penentu terhadap kinerja KUD. Dengan kata lain, kegiatan pengelolaan harus melibatkan anggota secara aktif jika dalam jaringan kerja KUD dapat berhasil, seperti misalnya membuat perencanaan, meningkatkan modal koperasi dengan cara meningkatkan partisipasi anggota dalam proses pemupukan modal.


[1]Diakses dari  http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE27-1a.pdf, pada tanggal 28 Mei 2011, pukul 16.46 WIB.
[2] Slide matakuliah Sosiologi Ekonomi, pembahasan pak Sudarsono mengenai  Gerakan Koperasi.
[3] Diakses dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/29545/A85WGU.PDF?sequence=1, pada tanggal 28 Mei 2011, pukul 16.05 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar