Selasa, 28 Desember 2010

ADAT dan AGAMA

Dalam penjelasan di dalam sosiologi agama, Durkheim, Weber, dan Simmel disini berusaha untuk menjelaskan mengenai definisi agama menurut pandangan mereka. Menurut Durkheim agama secara tidak langsung terbentuk dari adanya suatu kolektivitas, sedangkan Weber dalam Protestan Ethic memberikan pandangannya mengenai agama bahwa agama akan memberikan suatu motivasi bagi pemeluknya untuk dapat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan Simmel mengatakan bahwa agama akan memberikan ruang bagi aktualisasi individu dan dapat menenangkan atau memantapkan suasana hatinya. Disini apabila kita melihat dari pandangan perspektif sosiologi agama, agama menurut pandangan fungsionalisme dapat dilihat sebagai sebuah fungsi. Maksudnya, agama dapat dilihat sebagai sebuah institusi lain yang memegang peranan atau fungsi agar masyarakat dapat memainkan perannya dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun mondial.[1] Sedangkan apabila melihat fungsi dari agama itu sendiri, agama memiliki empat fungsi penting, yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial (social control), dan fungsi profetis atau kritis.[2]  Dengan begitu, agama dapat dikatakan memiliki keterkaitan yang begitu erat di dalam kehidupan masyarakat dan dalam hal ini juga, secara tidak langsung agama memiliki kaitan yang erat dengan adat yang diberlakukan di suatu wilayah. Seperti penjelasan mengenai adat dibawah ini.
Adat dalam pengertian epistemologis dapat didefinisikan sebagai sebuah kebiasaan. Dimana pengertian dari adat itu sendiri merupakan suatu sikap atau tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan norma yang berasal dari leluhur dan diwariskan secara turun-temurun kepada anak-cucunya. Sehingga dalam peranannya membuat adat mempunyai kedudukan dan status sebagai sesuatu yang mengikat, yang tidak dapat terelakkan, baik di dalam suatu golongan tertentu, maupun pada perorangan di dalam golongan tersebut.[3] Secara sosiologis adat dirumuskan sebagai suatu kebiasaan yang mengatur segenap kehidupan masyarakatnya dalam setiap hubungannya dengan sesama manusia lain.
Dari penjelasan mengenai agama dan adat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa adat dan agama memiliki suatu persamaan mendasar. Yaitu  adat dan agama  memiliki sifat sosial, yang berfungsi untuk mengatur masyarakat dan bersifat mengikat. Dari keterkaitan dan persamaan itulah maka agama dan adat saling berkesinambungan satu sama lain. Serta dari penjelasan itu pun, disini saya akan mencoba menguraikan dan menghubungkan mengenai keterkaitan adat dan agama yang dimiliki oleh Indonesia. Dimana seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara beragama dan memiliki beragam adat istiadat serta kebudayaan. Ini terbukti dari salah satu bentuk adat di Minangkabau. Minangkabau yang merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia ternyata memiliki suatu keunikan adat. Keunikan adat tersebut dapat terlihat dari berbagai kawasan Minangkabau yang merupakan sebuah kawasan budaya, dimana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Minangkabau juga merupakan salah satu suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, serta aspek kehidupan masyarakatnya. 
Dalam mengkaji mengenai adat Minangkabau, terdapat dua sumber yang dapat menjelaskan mengenai Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Tetapi disini saya akan mengambil penjelasan mengenai sumber dari tambo. Dalam penjelasannya, tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerangkan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau sendiri, tambo mempunyai arti yang sangat penting, hal ini dikarenakan di dalam tambo terdapat dua hal, yaitu tambo alam, yang merupakan suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung, dan tambo adat, yang merupakan uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal (garis keturunan ibu)[4] yang dikembangkan di dalam tradisi adat Minang.
Selain itu, dalam artikel pertama yang berjudul “Pernikahan Adat Minangkabau (Tanah Datar-Lintau, Desa Lubuak Jantan)” disini diceritakan bahwa dalam tradisi adat pernikahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau yang tinggal di Tanah Datar-Latau, Desa Lubuak Jantan, sangat menjunjung tinggi adanya nuansa syariat Islam dan kaya akan filosofi yang begitu kuat membungkus tradisi adat Minangkabau ini. Ini terlihat dari beberapa kutipan beikut ini: “berbagai warna-warni pakaian serta ornamen yang digunakan dalam sejumlah untaian (setajuak) janur, sampai pakaian dan makanannya  yang sarat akan makna islami.” Hal yang paling menarik dibahas dalam artikel ini adalah bahwa dalam adat pernikahan ini terdapat acara manyambuik marapulai, yaitu profesi adat yang dilaksanakan ketika mempelai pria (marapulai) datang dari masjid setelah melakukan akad nikah. Hal tersebut menjadi suatu kebiasaan masyarakat Lubuak Jantan yang melangsungkan pernikahan setelah shalat Jum’at. Selain itu, ketika akad berlangsung pun mempelai wanita (anak daro) tidak mendampingi mempelai pria, melainkan menunggu di kediaman anak daro, dari sini terlihat adanya suatu sistem matrilineal (garis keturunan ibu) yang dipergunakan.  
Dari penjelasan sedikit mengenai “Pernikahan Adat Minangkabau (Tanah Datar-Lintau, Desa Lubuak Jantan)” terlihat bahwa di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terdapat suatu adat yang mengatur interaksi dan hubungan antar sesama anggota masyarakat Minang, seperti adanya hubungan formal di dalam pelaksanaan akad nikah yang dilakukan. Adanya hubungan formal di dalam akad pernikahan adat Minangkabau juga dapat terlihat berdasarkan kutipan berikut ini: “adanya sebuah prosesi adat membasuh kaki sebelum marapulai bersanding dengan anak daro di pelaminan, dimana mintuo marapulai membersihkan kaki marapulai dengan air hingga tidak ada kotoran sedikit pun yang melekat, sebagai perlambang membersihkan kotoran (dosa) masa lalu.  Yang lalu  diikuti oleh marapulai yang mulai berjalan diatas kain putih dalam keadaan bersih tidak berbekas, yang menandakan bahwa marapulai mendatangi anak daro dalam keadaan suci.” Setelah melakukan tradisi tersebut barulah kedua mempelai diizinkan bersanding dengan bersimpuh di lantai, tidak seperti pernikahan pada umumnya yang menggunakan kursi pelaminan. Dari berbagai tradisi pernikahan yang dilakukan dalam adat Minangkabau tersebut memperlihatkan bahwa adat Minangkabau dan agama Islam saling berimplikasi untuk menciptakan adanya suatu keteraturan nilai dan norma dalam masyarakat Minang.
Dari berbagai kutipan diatas juga terlihat bahwa dalam tradisi pernikahan adat Minangkabau terdapat dua hukum yang dipergunakan, yaitu hukum agama dan hukum adat. Seperti yang diketahui bahwa hukum agama terlihat dari adanya prosesi pernikahan yang dilakukan oleh mempelai wanita dan mempelai lelaki, dimana disetiap proses-proses yang dilakukan menjunjung tinggi unsur agama Islam di dalamnya. Sedangkan hukum adat dapat terlihat dari berbagai tradisi pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai, disetiap prosesnya selalu sarat akan norma dan nilai-nilai yang terdapat pada adat Minangkabau. Sehingga, secara jelas kedua hukum tersebut merupakan hasil kesinambungan antara agama dengan adat dan sama-sama menjadi landasan kehidupan masyarakat Minangkabau.
Sementara pada artikel kedua, yang berjudul “Peraturan Adat Minangkabau dalam Pemberian Gelar ” dijelaskan bahwa pada ukuran dewasa, seorang laki-laki dalam pemberian gelarnya ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Pernyataan tersebut dipertegas berdasarkan kutipan berikut ini: “untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya. Menurut kebiasaan dikampung-kampung dulu, bagi seorang laki-laki yang telah beristeri rasanya kurang dihargai, kalau ia oleh fihak keluarga isterinya dipanggil dengan menyebut nama kecilnya saja.” Adanya peraturan adat Minangkabau dalam pemberian gelar ini menunjukkan bahwa ada suatu hubungan yang tidak dapat terpisahkan di dalam diri individu dengan masyarakatnya sendiri. Misalnya saja seperti adanya suatu pendekatan filosofis dan struktural di dalamnya. Pendekatan filosofis tersebut dapat tertuang dalam pepatah adat, yang biasanya diungkapkan dalam bentuk bunyi pepatah-petitih Minangkabau. Seperti kutipan pepatah petitih berikut ini: “Indak basuluah batang pisang, Basuluah bulan jo matoari, Bagalanggang mato rang banyak”. Pepatah-petitih tersebut biasanya dilakukan pada saat sambah manyambah dalam acara manjapuik marapilai dan diresmikan setelah acara akad nikah. Dalam hal ini, pepatah adat selain sebagai sebuah instrument dalam pendekatan filosofis, dapat pula berperan dalam mensimbolisasikan kesatuan dan kontinuitas masyarakat Minang dari waktu ke waktu, yaitu sebagai suatu kearifan lokal, pepatah adat menjadi suatu pegangan dalam mencapai keselarasan (social harmony) dan dalam mencapai masyarakat yang ideal.
Dari berbagai keberagaman adat dan agama di Indonesia tersebut, memberikan suatu pandangan bahwa agama dan adat memiliki suatu hubungan yang dapat mensinergikan kehidupan masyarakatnya, seperti yang telah saya uraikan diatas. Dalam hal ini juga, adat seakan hadir di dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan untuk mengatur hubungan mereka dengan kelompoknya sesama manusia yang hubungan tersebut bersifat horizontal. Sedangkan agama masuk dan diterima oleh masyarakat dalam rangka menciptakan hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta walaupun pada dasarnya agama juga dapat mengarahkan manusia untuk dapat menciptakan hubungan horizontal yang harmonis antar manusia.
Apabila membandingkan antara adat dan agama di Minangkabau dengan adat dan agama di Bali maka dapat terlihat adanya persamaan serta perbedaan yang mendasar. Ini terbukti dari hasil analisa saya mengenai adat dan agama yang berada di Bali. Dimana pada ajaran adat Bali dilandasi oleh adanya ajaran agama Hindu. Dalam adat Bali juga terlihat jelas adanya perwujudan ajaran Tri-Hita-Karana, yang merupakan konsepsi keseimbangan triangulasi antara Tuhan, Manusia, dan Alam[5] yang merupakan inti dari ajaran adat Bali itu sendiri. Selain itu, terlihat bahwa di dalam keterkaitan antara agama dan adat terlihat bahwa di dalam kehidupannya masyarakat Bali percaya akan adanya satu Tuhan, yang dijelaskan dalam konsep Trimurti, Yang Esa, bukan nenek moyang. Di dalam penjelasannya, Trimurti mempunyai tiga wujud atau manifestasi, yaitu wujud Brahmana, berarti yang menciptakan, Wujud Wisnu berarti yang melindungi serta memelihara, dan wujud Siwa berarti yang melebur segala yang ada. Dari ajaran itulah, peranan agama Hindu dengan adat saling mengimplikasi kehidupan masyarakatnya untuk membentuk suatu keteraturan hidup. Sedangkan pada adat Minangkabau sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan karena peran agama Islam dalam masyarakat Minang dianggap dapat menyempurnakan adat masyarakat yang hidup di tanah Minang. Dari itulah masyarakat dalam aspek kehidupannya lebih mengutamakan nilai-nilai keislaman. Tetapi yang paling mendasar adalah pada hakikatnya, baik itu dalam adat masyarakat Minangkabau maupun adat masyarakat Bali dapat dikatakan tidak jauh berbeda antar keduanya. Ini terlihat dari adat keduanya yang sama-sama menjunjung tinggi fungsi dan peran agama serta adat dalam sistem sosial di masyarakatnya. 



[1] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama. 1983. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm 29.
[2] Fungsi edukatif: agama sebagai sarana edukasi dan bimbingan, Fungsi penyelamatan: berhubungan dengan dunia sesudah kematian (outer-worldly), Fungsi pengawasan sosial: agama (sebagai institusi) ikut bertanggung jawab atas norma-norma susila dalam masyarakat, Fungsi profetis dan kritis: fungsi agama dalam menjunjung keadilan di masyarakat.
[3] Lothar Schreiner. Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak. 2003. Jakarta: Gunung Mulia. hlm 18.
[4] Pembahasan oleh Umar Junus, mengenai Kebudayaan Minangkabau tentang sistem kekerabatan
[5] Pembahasan oleh I Gusti Ngurah Bagus, mengenai Kebudayaan Bali tentang agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar