Kamis, 30 Desember 2010

Modal Sosial

Definisi dan Teori Modal Sosial
Modal Sosial merupakan suatu sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti yang kita ketahui bahwa sesuatu yang disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Dalam hal ini, modal sosial berbeda definisi dengan modal manusia (human capital).[1]
Robert D Putnam (2000) dalam hal ini, memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki kebijakan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang rendah. Ini terkait dengan teorinya mengenai bonding, bridging, dan linking.[2]
Fukuyama (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat nilai-nilai informal yang instan atau norma-norma yang diyakini bersama di antara anggota kelompok yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama satu sama lain. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi dimana para anggotanya secara sukarela menyerahkan sebagian hak-hak individunya untuk bekerja bersama-sama mecapai suatu tujuan, berdasarkan aturan-aturan yang disepakati. Kesepakatan tersebut menyebabkan setiap orang melaksanakan kewajibannya masing-masing secara bebas tanpa perlu diawasi, karena satu sama lain menaruh kepercayaan bahwa setiap orang akan melaksanakan kewajibannya. Itulah yang disebut saling percaya (mutual trust), karena setiap orang berusaha untuk mengemban amanah.
Randall Collin (1981) mempunyai pemikiran tersendiri mengenai modal sosial. Bagi Collin, modal sosial secara tidak langsung melakukan kajian tentang apa yang dia sebut sebagai fenomena mikro dan interaksi sosial yaitu norma dan jaringan (the norms and networks) yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisasi sosial. Norma yang terbentuk dan berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan-aturan tersendiri dalam suatu masyarakat. Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat dalam setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan berbagai urusan sosial lebih efisien. Ketika norma ini menjadi norma asosiasi atau norma kelompok, akan sangat banyak manfaatnya dan menguntungkan kehidupan institusi sosial tersebut. Kekuatan-kekuatan sosial dalam melakukan interaksi antar kelompok akan terbentuk. Pada akhirnya mempermudah upaya mencapai kemajuan bersama.
Studi Kasus :
Pemberdayaan Masyarakat Untuk Usaha Kecil dan Mikro (Pengalaman Empiris di Wilayah Surakarta, Jawa Tengah)[3]
Sejarah telah menunjukkan bahwa usaha kecil dan mikro (UKM) di Indonesia tetap eksis dan berkembang dengan adanya krisis ekonomi yang telah melanda negeri ini sejak tahun 1997, bahkan menjadi katup penyelamat bagi pemulihan ekonomi bangsa karena kemampuannya memberikan sumbangan yang cukup signifikan pada PDB maupun penyerapan tenaga kerja.
Kecenderungan kemampuan UKM memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan perekonomian suatu negara sehingga mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menetapkan tahun 2004 sebagai tahun International microfinance. Sejalan dengan program PBB tersebut, pemerintah Indonesia juga telah menetapkan tahun 2005 sebagai “Tahun UMKM Indonesia”.
Dalam pemberdayaan masyarakat ini, mencoba untuk menjelaskan mengenai berbagai dinamika keterlibatan dan hubungan peran antar stakeholder UKM, pemberdayaan masyarakat untuk UKM dan beberapa pengalaman empiris.
Terdapat banyak stakeholder yang harus terlibat dalam pemberdayaan masyarakat untuk UKM, antara lain dapat dilakukan langkah-langkah dengan melalui kegiatan:
(1) Identifikasi Potensi,
(2) Analisis Kebutuhan,
(3) Rencana Kerja Bersama,
(4) Pelaksanaan,
(5) Monitoring dan Evaluasi.
Dari dua pengalaman empiris dapat ditarik pengalaman bahwa kerjasama antar stakeholder UKM akan menghasilkan kinerja yang lebih baik untuk pengembangan UKM. Untuk itu, maka program-program yang menyangkut pengembangan UKM baik yang bersifat technical asistant (TA) maupun yang non TA harus diupayakan adanya koordinasi antar stakeholder agar optimal hasilnya. Implementasi kebijakan dalam rangka strategi pemberdayaan masyarakat untuk mengembangkan UKM tidak bisa secara parsial hanya berada pada bidang ekonomi permodalan saja, namun harus berorientasi secara keseluruhan atas kebutuhan UKM baik secara individu maupun kelompok, termasuk berdasarkan pada potensi sumber daya manusianya. Dengan melibatkan secara partisipatif dan lebih bersifat bottom up ternyata pemberdayaan diri UKM telah berhasil dan pada gilirannya secara integral mampu memberikan dampak bagi perkembangan perekonomian yang lebih luas.

Keterkaitan Teori Modal Sosial dengan Pemberdayaan Masyarakat untuk UKM
            Jika melihat dari teori modal sosial, dapat dikatakan bahwa dengan terbentuknya pemberdayaan masyarakat dalam UKM cukup menjadi sebuah kegiatan yang mampu untuk memberdayakan masyarakatnya, baik itu dengan terbukanya lapangan pekerjaan maupun membantu kestabilan perekonomian di Indonesia. UKM dalam hal ini dianggap sebagai sebuah usaha positif yang tidak hanya memiliki peranan dalam pembangunan perekonomian nasional, tetapi juga mampu dalam hal meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta penyerapan tenaga kerja dalam suatu pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Seperti yang kita ketahui bahwa sejak munculnya krisis ekonomi yang terjadi di negara kita di beberapa tahun yang lalu, banyak sekali dari perusahaan yang dianggap sebagai usaha berskala besar mulai memberhentikan aktifitasnya. Baik itu dengan cara mengurangi tenaga kerja di pasar kerja, maupun secara besar-besaran mengalami kerugiaan dalam penanaman saham dana investasi dengan perusahaan lain. Tetapi UKM yang hanya dianggap sebagai sebuah usaha kecil dan menengah mampu secara tangguh menghadapi berbagai permasalahan di negara Indonesia.
            Padahal apabila kita ketahui lebih mendalam, UKM yang sering dianggap sebagai usaha yang hanya mampu menghasilkan produksinya dalam skala kecil dan dianggap tidak mampu bersaing dengan unit usaha lainnya, ternyata semenjak terjadinya krisis ekonomi Indonesia, banyak sekali dari berbagai usaha, khususnya usaha pada sektor swasta yang memfokuskan pengembangannya pada sektor usaha kecil dan menengah (UKM).
            Bila memfokuskan pada teori modal sosial Putnam ataupun Fukuyama maka dalam UKM terdapat suatu konsep-konsep yang dapat dikaitkan dalam memecahkan permasalahan di Indonesia. Seperti terlihat bahwa UKM memiliki suatu jaringan yang mampu untuk berkontribusi dengan berbagai sektor swasta yang mulai memberhentikan aktifitasnya. Jaringan tersebut dapat terbentuk karena adanya suatu trust yang terbentuk antar anggota di dalamnya. Trust itulah yang secara lambat laun kembali membangkitkan berbagai sektor swasta untuk bisa menjalankan usahanya dalam skala besar. Selain adanya suatu jaringan untuk membentuk identitas bersama, UKM juga disini mempunyai sebuah jaringan yang dalam pembentukkan tidak hanya berdasarkan latar belakang suatu masalah tetapi karena pada dasarnya UKM dibentuk untuk mampu bersaing dengan berbagai unit usaha lainnya, baik atau pun sebelum munculnya krisis ekonomi di Indonesia. UKM inilah yang mampu untuk membuka sebuah lapangan pekerjaan, bagi para pekerjanya, baik itu bagi mereka para pekerja yang terdidik maupun yang tidak terdidik. Secara tidak langsung UKM berusaha untuk mengurangi jumlah pengangguran yang semakin tahunnya semakin meningkat, serta mencegah semakin tingginya tingkat kemiskinan yang dirasakan oleh Indonesia. Sehingga dapat dikatakan terbentuknya UKM didasarkan pada adanya hubungan yang terjalin antar komunitas masyarakatnya dengan para agen eksternal yang berada dalam jaringan tersebut, contohnya saja seperti munculnya UKM di Wilayah Surakarta, Jawa Tengah.
            Bagi UKM, ada suatu prinsip yang mendasar untuk terus melakukan pemberdayaan terhadap masyarakatnya. Yaitu adanya suatu prinsip bahwa pemberdayaan masayarakat akan terus tercipta apabila hal tersebut muncul atas dasar dari, oleh, dan untuk masyarakatnya sendiri. Hal tersebut terbangun atas pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevasi pengetahuan tradisional masyarakatnya yang dianggap masih cukup kental  dalam memecahkan masalah-masalahnya tersendiri, seperti pengangguran maupun dalam hal memenuhi perekonomian untuk mencegah makin meningkatnya kemiskinan di Indonesia.
            Disini juga apabila kita melihatnya, maka merujuk pada teori Collin, UKM dalam pembentukkannya selalu difasilitasi oleh adanya suatu  norma bersama yang disepakati oleh berbagai masyarakat yang bergerak di dalamnya. Hal ini jugalah yang memperlihatkan bahwa terbentuknya UKM tidak terlepas dari adanya keterlibatan stakeholder untuk menentukan keberhasilannya dalam mengatasi permasalahan perekonomian di Indonesia. Karena UKM dianggap sebagai aktor/pelaku dalam memegang suatu peranan yang sangat penting dalam memberdayakan masyarakatnya. Sehingga dalam hal ini, seperti yang telah saya sebutkan diatas, UKM memiliki suatu jaringan, yang dalam pemberdayaannya dibutuhkan adanya suatu partisipasi dari berbagai pihak di luar UKM baik itu individu-individu maupun kelompok dari masyarakat yang berada pada unit sektor lain untuk terus berpartisipasi dalam keberhasilan suatu usaha, misalnya dalam pemenuhan kebutuhan.
Sektor lain tersebut dapat berupa kerjasama dengan koperasi atau unit lain di luar koperasi. Adanya kerjasama diantara UKM dan koperasi secara tidak langsung memberikan solusi bagi setiap permasalahan yang sering muncul di dalam usaha, apalagi UKM masih dianggap sebagai sebuah usaha kecil dan menengah, yang masih harus membutuhkan suatu penopang untuk terus bertahan dalam mencapai tujuannya. Apalagi seperti yang kita ketahui bahwa seperti UKM yang begerak di sektor kecil dan menengah tentunya selalu mengalami permasalahan dalam hal modal. Hal inilah yang akan memudahkan bagi UKM apabila ia menjalin kerjasama dengan sektor lain, seperti koperasi. Apalagi UKM yang terbentuk adalah UKM yang berada di desa-desa. Dengan melakukan kerjasama dengan koperasi itulah, diharapkan adanya suatu kekuatan jaringan dalam harga tawar pasar, baik itu dalam hal bahan-bahan baku, proses memproduksi barang yang dikerjakan oleh para pekerja UKM, maupun dalam hal pemasaran hasil produksi UKM.
Dari berbagai kerjasama dan cara kerja UKM akan menciptakan suatu asaosiasi usaha bagi anggotanya untuk terus memperkuat posisi tawar dalam pasar, baik dalam penetapan harga produksi dalam pasar maupun persaingan usaha dengan berbagai sektor usaha yang lebih besar. Seperti yang telah disebutkan diatas, masalah yang sering muncul dalam UKM adalah masalah modal. Yang terkadang melakukan kerjasama dengan koperasi pun dianggap kurang efektif dalam hal peminjaman modal bagi usahanya. Hal inilah yang mensinegikan UKM untuk melakukan kersama dengan Bank atau non Bank untuk bisa memperoleh dana dari pemerintah dalam bentuk kredit.
Seperti yang kita ketahui, bahwa UKM hanyalah sebuah usaha kecil yang berada di setor informal, dan ekbanyakan anggota (pekerjanya) adalah para ibu-ibu rumah tangga yang memiliki suatu keterampilan khusus dalam bidangnya. Hal ini tidak mengherankan apabila dalam memproduksi hasil UKM pun terkadang hanya di pasarkan di dalam pasar domestik, tetapi akan lebih menguntungkan apabila hasil produksi tersebut dapat mencapai pasar ekspor sesuai dengan permintaan dari pasar Mancanegara. Karena seperti yang diketahui bahwa adanya suatu hubungan yang terjalin antar pembeli maupun eksportir sangat menentukan pemasaran hasil produksi. Apalagi disaat terjadi perubahan kondisi pasar yang begitu cepat, dimana banyak pesaing-pesaing dalam memproduksi pasar. Hal inilah yang dibutuhkan adanya suatu fasilitas yang bersal dari pemerintah Indonesia, LSM, maupun asosiasi usaha.
            Maka dengan berbagai hubungan antara peran-peran stakeholder UKM tersebut diharapkan UKM dapat memberikan suatu kontribusi yang positif terhadap berbagai upaya penanggulangan masalah-masalah yang sering kali muncul di Indonesia. Hal ini tidak hanya terkait pada penanggulangan masalah tingginya tingkat kemiskinan, atau besarnya jumlah pengagguran, tetapi terhadap ketimpangan distribusi pendapatan dan proses pembangunan yang tidak merata di berbagai daerah di Indonesia, seperti perkotaan dan pedesaan misalnya.    
            Apabila dilihat dari kelebihan pemberdayaan masyarakat melalui UKM, maka UKM dalam hal ini dapat dikatakan sebagai usaha sektor kecil dan menengah yang mampu bertahan di masa krisis ekonomi yang hingga saat ini belum dapat ditanggulangi. Hal tersebut didukung oleh 4 hal, yaitu: [4]
1.      Sebagian besar UKM telah mampu menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya terhadap barang yang tidak tahan lama dalam penggunaannya atau kualitasnya
2.      Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing, dalam hal pendanaan usaha, atau modal usaha
3.      Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja
4.      Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari abnyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal
Selain kelebihan, dalam pemberdayaan masyarakat UKM ini tentunya memiliki suatu kekurangan dalam hal faktor internal, yaitu kurangnya permodalan dan terbatasnya akses pembiayaan. Hal ini diakibatkan karena pada umumnya usaha kecil dan menengah seperti UKM merupakan usaha perorangan yang memiliki sifat tertutup, dimana dalam mendapatkan modalnya lebih mengandalkan pada pemilik yang terbatas jumlahnya. Sedangkan untuk mendapatkan modal dari bank atau lembaga keuangan lainnya begitu sulit untuk didapatkan, karena sulitnya dalam hal administrasi dan teknis yang sering akli sulit untuk terpenuhi oleh usaha kecil dan menengah seperti UKM. Selain kurangnya modal, hal ini juga dapat disebabkan oleh kualitas SDM. Dimana kualitas SDM tersebut dipengaruhi oleh pendidikan maupun pengetahuan serta keterampilan yang akan sangat mempengaruhi manajemen pengelolaan usaha produksi di tingkat pasar domestik maupun ekspor. Selanjutnya lemahnya jaraingan usaha dan kemampuan penetrasi pasar, hal ini dapat disebabkan oleh semakin majunya teknologi yang apabila UKM bersaing dengan sektor usaha yang besar akan kalah bersaing di tingkat pasar. Selanjutnya dalam faktor eksternal, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh terbatasnya sarana dan prasarana usaha, terbatasnya akses pasar, dan terbatasnya akses informasi.
Oleh karena itu dibutuhkan adanya suatu antuan permodalan serta perkembangan kemitraan yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai pusat utama untuk memajukan usaha kecil dan mengeah seperti UKM tersebut, sehingga UKM tidak hanya dapat terus bertahan dalam masalah perekonomian saja, tetapi dapat terus bersaing di pasar domestik maupun ekspor dengan usaha besar lainnya.  


[1] Modal manusia (human capital) segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebijakan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial.
[2] Bonding merujuk pada jaringan yang dibentuk melalui identitas bersama. Bridging lebih merujuk pada jaringan asosiasi. Hubungan yang dilakukan tidak berdasarkan pada latar belakang. Tetapi berdasarkan pada interaksi yang dilakukan demi terjadinya aktivitas kolektif yang memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang ada, hal itu tidak dapat dicapai sendiri, serta tidak pula didapatkan melalui jaringan yang terbentuk di dalam kelompok, dan Linking lebih menunjuk pada hubungan pertukaran, yang dilakukan oleh dua kelompok, yang bukan hanya berbeda dalam jenisnya tetapi juga berada pada posisi yang berbeda dalam jangkauan kuasa dan akses terhadap sumber daya. Konsep linking pada modal sosial menjelaskan jaringan serta hubungan yang lebih bersifat institusional dengan unequal agents. Secara sederhana, hubungan tersebut dapat dilihat pada hubungan yang tercipta antara suatu komunitas dengan agen eksternalnya.

[3] Diakses dari http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/16261012200510131.pdf, pada tanggal 24 Desember 2010, pukul 20.01 WIB.
[4] Diakses dari http://yudhislibra.wordpress.com/2010/11/22/64/, pada tanggal 24 Desember 210, pukul 21.05 WIB.

Selasa, 28 Desember 2010

ADAT dan AGAMA

Dalam penjelasan di dalam sosiologi agama, Durkheim, Weber, dan Simmel disini berusaha untuk menjelaskan mengenai definisi agama menurut pandangan mereka. Menurut Durkheim agama secara tidak langsung terbentuk dari adanya suatu kolektivitas, sedangkan Weber dalam Protestan Ethic memberikan pandangannya mengenai agama bahwa agama akan memberikan suatu motivasi bagi pemeluknya untuk dapat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan Simmel mengatakan bahwa agama akan memberikan ruang bagi aktualisasi individu dan dapat menenangkan atau memantapkan suasana hatinya. Disini apabila kita melihat dari pandangan perspektif sosiologi agama, agama menurut pandangan fungsionalisme dapat dilihat sebagai sebuah fungsi. Maksudnya, agama dapat dilihat sebagai sebuah institusi lain yang memegang peranan atau fungsi agar masyarakat dapat memainkan perannya dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun mondial.[1] Sedangkan apabila melihat fungsi dari agama itu sendiri, agama memiliki empat fungsi penting, yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial (social control), dan fungsi profetis atau kritis.[2]  Dengan begitu, agama dapat dikatakan memiliki keterkaitan yang begitu erat di dalam kehidupan masyarakat dan dalam hal ini juga, secara tidak langsung agama memiliki kaitan yang erat dengan adat yang diberlakukan di suatu wilayah. Seperti penjelasan mengenai adat dibawah ini.
Adat dalam pengertian epistemologis dapat didefinisikan sebagai sebuah kebiasaan. Dimana pengertian dari adat itu sendiri merupakan suatu sikap atau tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan norma yang berasal dari leluhur dan diwariskan secara turun-temurun kepada anak-cucunya. Sehingga dalam peranannya membuat adat mempunyai kedudukan dan status sebagai sesuatu yang mengikat, yang tidak dapat terelakkan, baik di dalam suatu golongan tertentu, maupun pada perorangan di dalam golongan tersebut.[3] Secara sosiologis adat dirumuskan sebagai suatu kebiasaan yang mengatur segenap kehidupan masyarakatnya dalam setiap hubungannya dengan sesama manusia lain.
Dari penjelasan mengenai agama dan adat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa adat dan agama memiliki suatu persamaan mendasar. Yaitu  adat dan agama  memiliki sifat sosial, yang berfungsi untuk mengatur masyarakat dan bersifat mengikat. Dari keterkaitan dan persamaan itulah maka agama dan adat saling berkesinambungan satu sama lain. Serta dari penjelasan itu pun, disini saya akan mencoba menguraikan dan menghubungkan mengenai keterkaitan adat dan agama yang dimiliki oleh Indonesia. Dimana seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara beragama dan memiliki beragam adat istiadat serta kebudayaan. Ini terbukti dari salah satu bentuk adat di Minangkabau. Minangkabau yang merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia ternyata memiliki suatu keunikan adat. Keunikan adat tersebut dapat terlihat dari berbagai kawasan Minangkabau yang merupakan sebuah kawasan budaya, dimana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Minangkabau juga merupakan salah satu suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, serta aspek kehidupan masyarakatnya. 
Dalam mengkaji mengenai adat Minangkabau, terdapat dua sumber yang dapat menjelaskan mengenai Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Tetapi disini saya akan mengambil penjelasan mengenai sumber dari tambo. Dalam penjelasannya, tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerangkan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau sendiri, tambo mempunyai arti yang sangat penting, hal ini dikarenakan di dalam tambo terdapat dua hal, yaitu tambo alam, yang merupakan suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung, dan tambo adat, yang merupakan uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal (garis keturunan ibu)[4] yang dikembangkan di dalam tradisi adat Minang.
Selain itu, dalam artikel pertama yang berjudul “Pernikahan Adat Minangkabau (Tanah Datar-Lintau, Desa Lubuak Jantan)” disini diceritakan bahwa dalam tradisi adat pernikahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau yang tinggal di Tanah Datar-Latau, Desa Lubuak Jantan, sangat menjunjung tinggi adanya nuansa syariat Islam dan kaya akan filosofi yang begitu kuat membungkus tradisi adat Minangkabau ini. Ini terlihat dari beberapa kutipan beikut ini: “berbagai warna-warni pakaian serta ornamen yang digunakan dalam sejumlah untaian (setajuak) janur, sampai pakaian dan makanannya  yang sarat akan makna islami.” Hal yang paling menarik dibahas dalam artikel ini adalah bahwa dalam adat pernikahan ini terdapat acara manyambuik marapulai, yaitu profesi adat yang dilaksanakan ketika mempelai pria (marapulai) datang dari masjid setelah melakukan akad nikah. Hal tersebut menjadi suatu kebiasaan masyarakat Lubuak Jantan yang melangsungkan pernikahan setelah shalat Jum’at. Selain itu, ketika akad berlangsung pun mempelai wanita (anak daro) tidak mendampingi mempelai pria, melainkan menunggu di kediaman anak daro, dari sini terlihat adanya suatu sistem matrilineal (garis keturunan ibu) yang dipergunakan.  
Dari penjelasan sedikit mengenai “Pernikahan Adat Minangkabau (Tanah Datar-Lintau, Desa Lubuak Jantan)” terlihat bahwa di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terdapat suatu adat yang mengatur interaksi dan hubungan antar sesama anggota masyarakat Minang, seperti adanya hubungan formal di dalam pelaksanaan akad nikah yang dilakukan. Adanya hubungan formal di dalam akad pernikahan adat Minangkabau juga dapat terlihat berdasarkan kutipan berikut ini: “adanya sebuah prosesi adat membasuh kaki sebelum marapulai bersanding dengan anak daro di pelaminan, dimana mintuo marapulai membersihkan kaki marapulai dengan air hingga tidak ada kotoran sedikit pun yang melekat, sebagai perlambang membersihkan kotoran (dosa) masa lalu.  Yang lalu  diikuti oleh marapulai yang mulai berjalan diatas kain putih dalam keadaan bersih tidak berbekas, yang menandakan bahwa marapulai mendatangi anak daro dalam keadaan suci.” Setelah melakukan tradisi tersebut barulah kedua mempelai diizinkan bersanding dengan bersimpuh di lantai, tidak seperti pernikahan pada umumnya yang menggunakan kursi pelaminan. Dari berbagai tradisi pernikahan yang dilakukan dalam adat Minangkabau tersebut memperlihatkan bahwa adat Minangkabau dan agama Islam saling berimplikasi untuk menciptakan adanya suatu keteraturan nilai dan norma dalam masyarakat Minang.
Dari berbagai kutipan diatas juga terlihat bahwa dalam tradisi pernikahan adat Minangkabau terdapat dua hukum yang dipergunakan, yaitu hukum agama dan hukum adat. Seperti yang diketahui bahwa hukum agama terlihat dari adanya prosesi pernikahan yang dilakukan oleh mempelai wanita dan mempelai lelaki, dimana disetiap proses-proses yang dilakukan menjunjung tinggi unsur agama Islam di dalamnya. Sedangkan hukum adat dapat terlihat dari berbagai tradisi pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai, disetiap prosesnya selalu sarat akan norma dan nilai-nilai yang terdapat pada adat Minangkabau. Sehingga, secara jelas kedua hukum tersebut merupakan hasil kesinambungan antara agama dengan adat dan sama-sama menjadi landasan kehidupan masyarakat Minangkabau.
Sementara pada artikel kedua, yang berjudul “Peraturan Adat Minangkabau dalam Pemberian Gelar ” dijelaskan bahwa pada ukuran dewasa, seorang laki-laki dalam pemberian gelarnya ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Pernyataan tersebut dipertegas berdasarkan kutipan berikut ini: “untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya. Menurut kebiasaan dikampung-kampung dulu, bagi seorang laki-laki yang telah beristeri rasanya kurang dihargai, kalau ia oleh fihak keluarga isterinya dipanggil dengan menyebut nama kecilnya saja.” Adanya peraturan adat Minangkabau dalam pemberian gelar ini menunjukkan bahwa ada suatu hubungan yang tidak dapat terpisahkan di dalam diri individu dengan masyarakatnya sendiri. Misalnya saja seperti adanya suatu pendekatan filosofis dan struktural di dalamnya. Pendekatan filosofis tersebut dapat tertuang dalam pepatah adat, yang biasanya diungkapkan dalam bentuk bunyi pepatah-petitih Minangkabau. Seperti kutipan pepatah petitih berikut ini: “Indak basuluah batang pisang, Basuluah bulan jo matoari, Bagalanggang mato rang banyak”. Pepatah-petitih tersebut biasanya dilakukan pada saat sambah manyambah dalam acara manjapuik marapilai dan diresmikan setelah acara akad nikah. Dalam hal ini, pepatah adat selain sebagai sebuah instrument dalam pendekatan filosofis, dapat pula berperan dalam mensimbolisasikan kesatuan dan kontinuitas masyarakat Minang dari waktu ke waktu, yaitu sebagai suatu kearifan lokal, pepatah adat menjadi suatu pegangan dalam mencapai keselarasan (social harmony) dan dalam mencapai masyarakat yang ideal.
Dari berbagai keberagaman adat dan agama di Indonesia tersebut, memberikan suatu pandangan bahwa agama dan adat memiliki suatu hubungan yang dapat mensinergikan kehidupan masyarakatnya, seperti yang telah saya uraikan diatas. Dalam hal ini juga, adat seakan hadir di dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan untuk mengatur hubungan mereka dengan kelompoknya sesama manusia yang hubungan tersebut bersifat horizontal. Sedangkan agama masuk dan diterima oleh masyarakat dalam rangka menciptakan hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta walaupun pada dasarnya agama juga dapat mengarahkan manusia untuk dapat menciptakan hubungan horizontal yang harmonis antar manusia.
Apabila membandingkan antara adat dan agama di Minangkabau dengan adat dan agama di Bali maka dapat terlihat adanya persamaan serta perbedaan yang mendasar. Ini terbukti dari hasil analisa saya mengenai adat dan agama yang berada di Bali. Dimana pada ajaran adat Bali dilandasi oleh adanya ajaran agama Hindu. Dalam adat Bali juga terlihat jelas adanya perwujudan ajaran Tri-Hita-Karana, yang merupakan konsepsi keseimbangan triangulasi antara Tuhan, Manusia, dan Alam[5] yang merupakan inti dari ajaran adat Bali itu sendiri. Selain itu, terlihat bahwa di dalam keterkaitan antara agama dan adat terlihat bahwa di dalam kehidupannya masyarakat Bali percaya akan adanya satu Tuhan, yang dijelaskan dalam konsep Trimurti, Yang Esa, bukan nenek moyang. Di dalam penjelasannya, Trimurti mempunyai tiga wujud atau manifestasi, yaitu wujud Brahmana, berarti yang menciptakan, Wujud Wisnu berarti yang melindungi serta memelihara, dan wujud Siwa berarti yang melebur segala yang ada. Dari ajaran itulah, peranan agama Hindu dengan adat saling mengimplikasi kehidupan masyarakatnya untuk membentuk suatu keteraturan hidup. Sedangkan pada adat Minangkabau sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan karena peran agama Islam dalam masyarakat Minang dianggap dapat menyempurnakan adat masyarakat yang hidup di tanah Minang. Dari itulah masyarakat dalam aspek kehidupannya lebih mengutamakan nilai-nilai keislaman. Tetapi yang paling mendasar adalah pada hakikatnya, baik itu dalam adat masyarakat Minangkabau maupun adat masyarakat Bali dapat dikatakan tidak jauh berbeda antar keduanya. Ini terlihat dari adat keduanya yang sama-sama menjunjung tinggi fungsi dan peran agama serta adat dalam sistem sosial di masyarakatnya. 



[1] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama. 1983. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm 29.
[2] Fungsi edukatif: agama sebagai sarana edukasi dan bimbingan, Fungsi penyelamatan: berhubungan dengan dunia sesudah kematian (outer-worldly), Fungsi pengawasan sosial: agama (sebagai institusi) ikut bertanggung jawab atas norma-norma susila dalam masyarakat, Fungsi profetis dan kritis: fungsi agama dalam menjunjung keadilan di masyarakat.
[3] Lothar Schreiner. Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak. 2003. Jakarta: Gunung Mulia. hlm 18.
[4] Pembahasan oleh Umar Junus, mengenai Kebudayaan Minangkabau tentang sistem kekerabatan
[5] Pembahasan oleh I Gusti Ngurah Bagus, mengenai Kebudayaan Bali tentang agama

Minggu, 12 Desember 2010

Koperasi pertanian Jepang (Nokyo) berdasarkan UU Koperasi Pertanian 1947 dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Indonesia berdasarkan Inpres 4/1984 dan menggunakan model New Institutionalism in Economic Sociology

Bila mengacu pada model New Institutionalism in Economic Sociology, yaitu sebagai model yang lebih menekankan pada pembangunan etika pembentukan koperasi. Maka bersumber pada pemikiran Nee (2005), berdasarkan pada pendekatan yang  dikemukakan oleh Granovetter mengenai ketertambatan (embeddedness) jaringan sosial, norma, dan kepercayaan dalam struktur sosial untuk merevitalisasikan logika studi sosiologi ekonomi. Lebih jauh, Granovetter disini berpendapat bahwa ada suatu ikatan interpersonal yang diyakini untuk memainkan peranan penting dalam pasar maupun perusahaan.[1]

Sehingga disini dapat dijelaskan bahwa koperasi pertanian Jepang (Nokyo) berdasarkan UU Koperasi Pertanian 1947 merupakan sebuah koperasi pertanian yang dibentuk atas dasar  undang-undang pertanian, dengan tujuan bahwa dengan adanya undang-undang tersebut maka dapat mendorong sistem pembangunan organisasi koperasi pertanian dengan cara meningkatkan berbagai kekuatan-kekuatan produktif pertanian. Selain itu juga, Nokyo mampu bertujuan untuk memperbaiki berbagai status sosial ekonomi masyarakat petani Jepang dalam membantu dan memperbaiki pembangunan ekonomi bangsa secara keseluruhan.  

Dalam pembangunannya, Nokyo memiliki peranan yang sangat penting dalam gerakan koperasi Jepang. Misalnya saja dalam pembentukan Buraku sebagai sebuah organisasi di pedesaan Jepang yang dianggap sebagai sebuah unit sosial dan ekonomi yang memiliki peranan yang sangat penting di dalam memproduksi pertanian dan rumah tangga petani. Buraku pun dalam hal ini, telah dibentuk dalam jangka waktu ratus tahun yang lalu dibawah sistem feodal (Morita 1960, Kurata 1989). Sedangkan dalam institusionalisasinya, Buraku berusaha untuk menjadi Bunokai atau jikko han di dalam struktur Nokyo. Sehingga oleh Nokyo, Buroku diubah menjadi kyoroku soshiki, yang beranggotakan seluruh petani yang tinggal di wilayah yang sama tetapi memiliki komoditi yang berbeda, dan memiliki sistem kegotongroyongan yang berada di dalam area yang sama.

Lain halnya dengan Koperasi Unit Desa (KUD). Menurut Inpres 4/1984, KUD  merupakan suatu bentuk koperasi yang dibentuk oleh warga desa dari desa atau dalam desa-desa yang merupakan bagian dari satu kesatuan masyarakat terkecil dari unit desa. Dalam KUD pun, yang berkualifikasi untuk masuk ke dalam bisnis koperasi tidak hanya petani tetapi siapa pun yang berada di dalam desa maupun unit tersebut dapat ikut serta dalam keanggotaan koperasi. Selain itu, economic productive resource dalam koperasi di Indonesia lebih diperhatikan dibandingkan sumber-sumber non-ekonomi produktif, seperti gotong royong, dan sistem kerjanya. Dalam hal ekspor barang KUD pun tidak membutuhkan adanya hirarki konsumsi untuk mencapai tingkat nasional.

Dari definisi mengenai Nokyo maupun KUD diatas apabila mengacu  pada pemikiran Nee yang bersumber dari pemikiran Granovetter,  disini dapat dijelaskan bahwa dalam model New Institutionalism in Economic Sociology dalam Nokyo terjadi suatu mekanisme integrasi hubungan formal maupun informal pada level tataran mikro, yaitu individu penduduk petani Jepang, meso (kelompok ataupun organisasi Buraku) serta tataran makro yang berupa lingkungan kebijakan (policy environment, yaitu Nogyo Hojin). Mengingat bahwa Nokyo, yang berupa koperasi pertanian Jepang merupakan koperasi yang anggotanya haruslah seluruh petani yang tinggal di wilayah yang sama tetapi memiliki komoditi yang berbeda, dan memiliki sistem kegotongroyongan yang berada di dalam area yang sama, tentunya mereka memiliki kepentingan yang sama untuk bersama-sama mengolah area pertanian di Jepang. Hal itulah yang tergambar dari 4 tipe keanggotaan koperasi primer di desa Jepang,[2] yaitu Kyoryoku soshiki (cooperating organizations) penduduk Jepang yang bertempat tinggal di daerah tersebut, selanjutnya Jishu Katsudo soshiki (autonomous organizations) para pemuda, dan wanita, Kanren soshiki (contact organizations kelompok study pajak, dan yang terakhir adalah Gyoshubetsu seisan soshiki (production groups) yaitu kumpulan para kelompok produksi. Dengan tipe keanggotaan tersebutlah yang menjadikan komponen di dalamnya menjadi satu kesatuan, jika salah satu komponen jaringan sosial di dalamnya keluar atau terputus, secara tidak langsung akan membuat produksi pertanian menjadi berantakan/tidak terlaksana. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pemerintah Jepang selalu memberikan penyuluhan di setiap unit koperasi pertanian Jepang.  

Selain melakukan penyuluhan, Nokyo pun banyak pula diatur oleh UU mengingat bahwa dasar UU Jepang adalah bersifat demokrasi, kapitalis, serta liberty tetapi berdasar pada kegotongroyongan. Dengan adanya basis UU tersebut, diharapkan Nokyo dalam jaringan sosialnya tidak hanya digharapkan mampu untuk tunduk  pada UU  Koperasi Pertanian (Nokyo Kikan Teki Jigyo) saja tetapi mampu pula untuk diatur dan tunduk pada selain UU Koperasi Pertanian (Fukateki Jigyo), yang meliputi; Farm Management Consigment (Jutaku Nogyo Keiei Jigyo);  Agricultural Land Trust Business (Nochi Shintaku Jigyo); Residential Land Business (Takuchi Nado Kankei Jigyo); Credit and other related bussness (Shinyo Jigyo Kankei Fuka Jigyo); Credit Business to Non Member Institutions (Tokubetsu Shikin Kashi Tauke no Jigyo), serta dapat mampu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan bisnis yang diatur dan tunduk secara khusus pada UU tersendiri seperti UU Bisnis Pergudangan Pertanian (Nogyo Soko Gyo Ho), UU Kantor Pos (Kani Yubinkyoku Ho), UU Asuransi Kesehatan (Kyukomin Kenko Hoken Ho), dan UU Pokok Pensiun Petani (Nogyosha Nenkin Kikin Ho).

Sehingga dengan berbagai interaksi dalam jaringan sosial tersebut Nokyo tidak hanya mampu untuk berjalan sesuai dengan yang diharapkan saja tetapi mencegah timbulnya  ketidakmerataan pada sistem bisnis maupun produksi koperasi Jepang. Karena seperti yang diketahui, bahwa dalam koperasi pertanian Jepang sistem kegotongroyongannya atau relasi sosialnya berdasarkan pada kualifikasi kemampuan petani Jepang, sehingga apabila posisi kelompok, organisasi maupun komunitas dalam sistem relasi sosial Nokyo dapat berjalan dengan baik maka akan memberikan hasil yang baik pula bagi pemberdayaan akses koperasi pertanian Jepang. Karena dengan kuatnya jaringan proposisi bisnis pertanian Jepang dan semakin lemahnya ikatan sosial maka akan memberikan asosiasi positif bagi sumber produksi pertanian di Jepang. 

Tetapi hal ini sedikit berbeda dengan KUD di Indonesia, dimana dalam inpres 4/1984 dalam pembinaan dan pengembangan KUD banyak sekali departemen yang harus terlibat didalmnya untuk membina usaha KUD. Bahkan dalam sistem kerjanya pun, banyak pihak yang harus terlibat secara terpadu dan berkoordinasi dalam tugasnya di dalam KUD, karena melihat bahwa dalam inpres 4/1984 merupakan titik awal dalam menjalankan penyuluhan KUD. Selain itu, dalam instruksi presiden RI No 4 Tahun 1984 Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa pengembangan KUD diarahkan agar KUD dapat menjadi pusat layanan kegiatan perekonomian di daerah pedesaan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional dan dibina serta dikembangkan secara terpadu melalui program lintas sektoral.[3] Disini pun terdapat hubungan mekanisme integrasi hubungan formal maupun informal pada level tataran mikro, yaitu individu yang tergabung di dalamnya (siapapun tidak dibatasi), meso (kelompok ataupun organisasi) serta tataran makro yang berupa lingkungan kebijakan (policy environment/ pemerintah). Dalam KUD pemerintah sebagai tataran makro berusaha untuk memberikan masyarakat selaku anggota dalam koperasi Indonesia agar dengan mudah menikmati kemakmuran secara merata dengan tujuan masyarakat yang adil dan makmur agar mampu untuk mencapai  pembangunan di bidang ekonomi, misalnya dengan memberikan kredit kepada pihak-pihak yang ekonominya masih lemah atau rakyat kecil terutama di daerah pedesaan.

Dalam usahanya, KUD diarahkan pada usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota, baik untuk menunjang usaha maupun kesejahteraannya. Melihat kebutuhan anggotanya yang dapat dikatakan beranekaragam, maka usaha koperasi multipurpose, dalam hal ini KUD  adalah menjadikan koperasi mempunyai beberapa bidang usaha, dalam hal usaha simpan pinjam, perdagangan, produksi, konsumsi, kesehatan, dan pendidikan. Karena dalam  peranannya KUD tidak semata-mata hanya mencari benefit dalam bidang pertanian seperti Nokyo. Mengingat bahwa dalam KUD, economic productive resource lebih diperhatikan dibandingkan sumber-sumber non-ekonomi produktif, seperti gotong-royong, dan sistem kerjanya. Dalam hal ekspor barang KUD pun tidak membutuhkan adanya hirarki konsumsi untuk mencapai tingkat nasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa muncul adanya ketertambatan (embeddedness) dalam tindakan non-ekonomi produktif dalam kegiatan ekonomi KUD, yang akan mengakibatkan jaringan sosial KUD menjadi sulit untuk dibentuk.

Sehingga dengan hal itu, KUD akan berperan lebih baik lagi apabila jaringan kerja koperasi dalam aspek non-ekonomi dapat dimasukkan sebagai tindakan yang secara produktif, efektif, dan efisien mampu  mewujudkan pelayanan usaha koperasi maupun anggotanya, agar mampu bersaing dengan badan usaha lain diluar koperasi. Melihat bahwa dalam sistem pengelolaannya yang berbasis economic productive resource telah dibentuk oleh KUD sebaik mungkin maka tidak ada salahnya apabila beberapa jaringan kerja seperti yang telah disebutkan diatas mampu dikelola dengan baik. Agar dalam sistem jaringan kerja pemasaran, produksi, keuangan, personil, pembelian, sistem informasi manajemen dan organisasi dapat berjalan dengan yang ditentukan. Begitu pun dengan faktor internal, seperti peran serta anggota, aktivitas dan sumber daya manusia serta faktor eksternal terhadap kinerja KUD sangat dibutuhkan dalam pembentukan koperasi di Indonesia khususnya di pedesaan. Hal ini karena peran serta anggota merupakan faktor penentu terhadap kinerja KUD. Dengan kata lain, kegiatan pengelolaan harus melibatkan anggota secara aktif jika dalam jaringan kerja KUD dapat berhasil, seperti misalnya membuat perencanaan, meningkatkan modal koperasi dengan cara meningkatkan partisipasi anggota dalam proses pemupukan modal.


[1]Diakses dari  http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE27-1a.pdf, pada tanggal 28 Mei 2011, pukul 16.46 WIB.
[2] Slide matakuliah Sosiologi Ekonomi, pembahasan pak Sudarsono mengenai  Gerakan Koperasi.
[3] Diakses dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/29545/A85WGU.PDF?sequence=1, pada tanggal 28 Mei 2011, pukul 16.05 WIB.

Selasa, 25 Mei 2010

1001 Karya “Profesor Internet” (No Windows. No Gates. It is open. No Bill. It is free)

Sekilas tentang mata kuliah PENGMAS (Pengabdian Masyarakat) yang pada semester 4 ini merupakan suatu mata kuliah pilihan. Dengan diajar oleh tim dosen yang terdiri dari Imam B. Prasodjo, Dr. Rosa Diniari, dan  Putu Chandra. Saat mulai awal memasuki kelas pengabdian masyarakat ini, muncul suatu keraguan dalam diri saya.  “Mungkinkah saya akan tetap mengambil mata kuliah ini atau mengambil mata kuliah lain????” tetapi dengan keyakinan serta dukungan yang 2 teman saya berikan, akhirnya saya mencoba untuk mengikuti mata kuliah ini pada minggu pertama dan kedua sebelum masa add/drop ditutup. Minggu pertama dan kedua saya ikuti dengan perasaan yang belum mantap, apalagi mengetahui bahwa setiap minggunya ada tugas review bacaan baik  itu review buku maupun film. Dengan  komponen penilaian 30%, Hah… saat itu saya berpikir, tidak mungkin dalam setiap minggunya saya menghadapi review….review… dan review…. Lalu bagaimana semua itu akan saya jalani???? Sedangkan masih ada tugas-tugas lain dari mata kuliah yang berbeda pula, baik itu mata kuliah wajib fakultas maupun mata kuliah pilihan yang saya ambil di semester ini??????
Tapi inilah mata kuliah yang saya anggap paling gila, dan membuat saya pun gila….. bagaimana tidak???? Sejak mas Imam masuk untuk mengajar mata kuliah ini, beliau berkata “saya nggak peduli, bagaimana pun caranya, bagi saya mata kuliah lain itu nggak penting, tapi mata kuliah inilah yang paling penting.” Hahahhaha…. Dalam kelas waktu itu saya hampir menjerit…. “Gila itu ga mungkin.” Dengan hampir meneteskan air mata, saya pikir saya ga’ akan sanggup menjalaninya. Tetapi akhirnya saya berpikir, ini adalah sebuah resiko yang harus siap saya jalani, mata kuliah ini sudah saya pilih menjadi mata kuliah pilihan di semester 4, dan dengan apapun itu saya akan jalani.  Mungkin dengan ini, saya akan mampu mengabdi masyarakat, masyarakat yang benar-benar butuh adanya suatu perubahan, masyarakat yang sama-sama hidup di tanah ibu pertiwi ini.
Dengan adanya mata kuliah ini, banyak hal yang diajarkan didalamnya, kita tidak hanya diajarkan dalam hal melihat sesuatu dari sebelah mata saja, tetapi kita diajarkan untuk benar-benar peduli dengan yang namanya sesama, sesama yang membutuhkan, sesama yang perlu di perhatikan.  Dengan adanya mata kuliah pengabdian masyarakat juga, saya mengetahui tentang arti social entrepreneur atau kewirausahaan sosial yang merupakan gabungan antara kecerdasan berbisnis, inovasi, dan tekad untuk maju ke depan. Seorang wirausaha sosial merupakan seorang pemimpin yang mencapai perubahan, melihat suatu masalah sebagai peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru bagi pemberdayaan masyarakat sekitar. Hasil yang ingin dicapai bukanlah berdasarkan keuntungan materi atau memuaskan pelanggan, namun bagaimana gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik dan perubahan bagi masyarakat. Mereka seperti seseorang yang sedang menabung dalam jangka panjang karena memang hasil dari usaha mereka memerlukan waktu dan proses yang tidak sebentar untuk dapat terlihat dampak atau hasilnya. Disinilah saya melihat sosok Onno Widodo Purbo sebagai salah satu wirausahawan sosial di lingkungannya. Tidak hanya lingkungannya tetapi ia memiliki impian untuk mengubah rakyat Indonesia menjadi orang-orang yang dapat maju dengan berbagai karya yang ia ciptakan.
Sehingga saya beranggapan, bahwa semua orang pasti mengenal Onno Widodo Purbo. Ya, seseorang yang dianggap sebagai professor internet Indonesia dan sesepuh open source dengan sejuta ide yang berada di kepalanya seputar teknologi informasi. Onno lahir di Bandung, 17 Agustus 1962 dan menganggap dirinya sebagai seseorang pengangguran, serta merupakan mahasiswa lulusan teknik elektro ITB ini mengaku bahwa semua yang ia pelajari berkaitan dengan teknologi informasi adalah secara otodidak. Pendidikan yang telah ia raih meliputi pada 1987 sebagai lulusan S1 dari Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, dengan tugas akhir Perancangan dan Implementasi Rangkaian RS232C 8 Kanal dan Program untuk Praktikum di bawah bimbingan Prof Dr Samaun Samadikun dan Dr Adang Suwandi, pada tahun 1989  sebagai lulusan S2 dari McMaster University, Kanada, dengan tesis Numerical Models for Degenerate and Heterostructure Semiconductor Diodes di bawah bimbingan Prof Dr DT Cassidy dan Prof Dr SH Chisholm, dan pada tahun 1993 sebagai lulusan S3 dari University of Waterloo, Kanada, dengan tesis Studies on Polysilicon Emitter Transistors Made on Zone-Melting-Recrystallized Silicon-on-Insulator di bawah bimbingan Prof Dr CR Selvakumar.

Dalam hidup, mottonya adalah bahwa apa yang ia kerjakan merupakan sesuatu yang ia sukai. Mantan Dosen muda ITB serta bekas PNS ini, lebih senang dikenal sebagai seorang penulis TI. Hal ini terbukti pada saat ia diundang menjadi narasumber Acer Onklik TV di ANteve, ia mengaku sebagai freelance IT Writer. Selain menjadi professor internet, Onno juga berkeinginan untuk menjadi seorang penulis. Hingga akhirnya, kesempatannya itu terbuka lebar setelah ia memutuskan untuk tidak lagi menyandang status sebagai pegawai negeri, tepat pada bulan Februari 2002. Hasil karya tulisannya tersebut saat ini mencapai lebih dari 40 buku dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, antara lain soal internet murah, teknologi internet nirkabel, VoIP, Open Source, dan Linux. Onno dalam hal ini menganggap bahwa menulis adalah salah satu jalan yang dapat dimanfaatkan untuk membuat semua anak bangsa pintar, bahkan beliau beranggapan “Ya setidak-tidaknya mereka mengenal internetlah”. Dalam benaknya pada saat itu, setiap satu buku yang ia tulis dapat dipergunakan untuk mencerdaskan lebih banyak orang dibandingkan hanya sekedar memberikan kuliah di kelas. Ia mengaku bahwa pada saat tulisan tersebut dibuat, hanya sekitar 20.000 sekolah yang tersambung ke Internet itupun tidak semua sekolah dapat menikmati Internet dengan baik. Pada saat yang sama, ada jutaan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang kurang beruntung tidak dapat menikmati Internet maupun berbagai software untuk usaha yang baik.
Pada tahun 2000, Onno merupakan salah satu peraih Kadin Telematika Award for Indonesian Internet Figure dalam artikel pertamanya di majalah pramuka mengenai cara membuat pesawat terbang model semasa SMA. Jika dipikir suatu bidang yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan yang ia tekuni sekarang. Mungkin karena semasa kecil ia bercita-cita sebagai seorang penerbang. Sejauh ini, Onno sama sekali tidak percaya dengan adanya hak cipta. Ini terbukti dari segala aktivitas yang ia lakukan dengan  berbagai advokasi soal pentingnya akses informasi yang murah untuk rakyat demi kemajuan bangsa selain itu karya-karya tulisannya ia publikasikan seluruhnya di internet sebagai sumber terbuka yang bisa diakses secara cuma-cuma dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Keterbukaan Onno yang bebas birokrasi tersebut tercermin dari pencantuman alamat email Indonetnya dan nomor ponselnya di milis onnopurbo. Selain itu, Onno tidak memperdulikan adanya honor ataupun royalty yang akan ia dapatkan dari semua hasil karyanya.
Peluangnya sebagai seorang entrepreneur sosial ini terlihat dari salah satu tujuan dalam pergerakannya (sustainable) yaitu menjadikan rakyat Indonesia yang 240 juta orang pintar sehingga tidak dibodohi lagi oleh penguasa, selain itu dengan cara memajukan suatu bangsa dengan membuka akses informasi seluas-luasnya bagi rakyat serta  membebaskan rakyat dari beban biaya dengan terciptanya Telkom rakyat, di mana rakyat tidak perlu membayar telepon, karena dapat membangun sistem telekomunikasi sendiri.
Onno yang secara terang-terangan menyangkal pemberontakan pada dominasi Bill Gates dengan Microsoft dan Windowsnya yang selama bertahun-tahun telah merajai kancah teknologi di kalangan pengguna komputer di seluruh dunia ini, membuat suatu simbol yang berkaitan dengan  dominasi tersebut dengan kalimat ”No Windows. No Gates. It is open. No Bill. It is free.” Sehingga tidak mengherankan apabila di penghujung tahun 2006, Onno sempat beraksi di saat Pemerintah memutuskan mengadakan Mou dengan Microsoft untuk melegalisasi perangkat lunak yang dapat dipergunakan di kantor-kantor pemerintahan. Onno beranggapan bahwa MoU pemerintah dengan Microsoft justru menyimpang dari undang-undang, karena tidak melalui proses tender terbuka. Padahal kesepakatan pembelian perangkat lunak tersebut menyangkut dana miliaran rupiah. Sehingga ia beranggapan bahwa proses legalisasi justru dapat menimbulkan pemborosan hingga miliaran rupiah, sementara di sisi lainia beranggapan ada sumber terbuka (open source) yang jika dimanfaatkan dengan baik dapat menghemat uang negara dalam jumlah yang cukup besar.
Open source yang saat itu Onno ciptakan adalah wajan bolic. Wajan bolic merupakan sebentuk antena untuk keperluan internet nirkabel yang berbiaya murah, karena terbuat dari wajan.
Dengan adanya wajan bolic maka dapat meningkatkan jarak jangkauan wireless LAN dan rendahnya biaya akses internet, karena perangkat tersebut mudah dibuat dan hanya memerlukan sedikit biaya. Wajan bolic dapat juga terbuat dari kaleng bekas yang masih layak pakai sehingga disebut dengan antena kaleng.  
Selain wajan bolic, Onno juga menciptakan 5 buah Distro yang dibuat dengan program Linux, yaitu:
1.      SchoolOnffLine (Untuk Sekolah). SchoolOnffLine merupakan solusi untuk sekolah agar dapat mengajarkan Internet di sekolah tanpa adanya sambungan Internet sama sekali. Jadi siswa dapat belajar mengirimkan Webmail, membuat Blog, membaca Wiki. Dalam Distro tersebut disertakan juga buku pelajaran komputer untuk SMP, SMA, Ibu Rumah Tangga maupun tentang Internet Sehat dalam bentuk e-book. Selain itu SchoolOnffLine juga dilengkapi dengan Sistem Informasi Sekolah seperti Absen, Nilai, Jadwal pelajaran serta perpustakaan digital
2.      SekolahNux (Untuk Pendidikan) dan IPTEKNux (untuk pendidikan). Sebenarnya keduanya dipergunakan untuk sekolah juga tetapi berbeda dengan SchoolOnffLine karena bentuknya yang bukan server. SekolahNux maupun IPTEKNux lebih diarahkan untuk Desktop untuk murid-murid. Di dalamnya tersedia software untuk belajar sambil bermain bagi anak-anak TK, SD, SMP, SMA bahkan di IPTEKNux tersedia berbagai software untuk penelitian tingkat S1, S2 dan S3. Contoh software belajar sambil bermain di tingkat TK, SD adalah TuxPaint untuk menggambar. Ada juga TuxMath dimana anak-anak SD bisa belajar Matematika sambil menembak meteor yang jauh dari atas. Hingga mengenal bintang & tata surya menggunakan aplikasi seperti Celestial atau Kstar.
3.       SMEOnffLine (Untuk UKM). Dalam SMEOnffLine terdapat Server ERP, Akunting, Personalia/HRD, Groupware, Social Networking, Web, Blog Wordpress, Wiki, Digital Library, e-mail, Webmail, File Sharing (SAMBA), Ubuntu Repository Server Lokal, Chatting Server. Dengan menggunakan SMEOnffLine sebuah usaha kecil menengah dapat menggunakan IT tanpa perlu online ke Internet. Bahkan jika di perlukan untuk demonstrasi LiveDVD SMEOnffLine dapat digunakan di komputer tanpa mengganggu software yang ada di harddisk komputer tersebut. SMEOnffLine dapat juga di install ke harddisk untuk penggunaan yang lebih permanen.
4.      ORARINux (Dunia Elektrika dan Amatir Radio). ORARINux adalah sebuah Distro/LiveDVD turunan dari Ubuntu yang di tujukan untuk para hobby Amatir Radio dan Elektronika. Dalam ORARINux terdapat Server Web copy dari SpeedyWiki, yang terpenting bagi dunia amatir radio, terdapat banyak sekali aplikasi untuk dunia elektronika, seperti gEDA aplikasi Electronic Design Automation, eagle gambar rangkaian elektronika & disain PCB dan kicad. Di samping itu, telah disiapkan berbagai aplikasi untuk komunikasi amatir radio digital, seperti, aprsd, aprsdigi, xastir untuk tracking kendaraan, antennavis, nec, nec2c untuk simulasi antenna, fldigi untuk komunikasi digital amatir; gpredict aplikasi untuk tracking satelit; dan klog untuk logbook komunikasi amatir radio.

Selain itu juga, Onno berpendapat bahwa hot spot menjadi suatu tren yang sangat menarik tertama di luar negeri karena ia beranggapan bahwa laptop sudah menjadi bagian yang sangat biasa dari kehidupan para pekerja kantoran. Di samping karena mobilitas pekerjanya sendiri yang sangat tinggi menyebabkan kebutuhan akses internet melalui laptop menjadi sesuatu yang penting pada zaman sekarang. Ia berpendapat juga, dengan sejak adanya chip wireless pada laptop-laptop baru maka hot spot dianggap penting untuk memberikan akses pada laptop yang nomadic. Tetapi ia menyayangkan karena di Indonesia sendiri para pekerja yang menggunakan laptop masih belum sebanyak di luar negeri, sehingga internet nirkabel yang menjadi tren justru dipergunakan untuk mem-bypass Telkom dengan cara menambahkan antena luar yang lebih besar gain-nya.
Dengan berbagai karyanya tersebut, Onno telah menerima beberapa penghargaan dari berbagai program acara, yaitu:
·         Tahun 2005. Mendapat penghargaan dari Senior Fellow dari Global Ashoka,
Amerika Serikat.
·         Tahun 2003. Mendapat penghargaan Sabbatical Award, dari International
Development Research Center, Kanada.
·         Tahun 2002. Mendapat penghargaan Eisenhower Fellow, dari Eisenhower Fellowship, Amerika Serikat.
·         Tahun 2000. Masuk dalam buku Indonesia Abad XXI: Di Tengah Kepungan Perubahan Global, Editor Ninok Leksono, Kompas.
·         Tahun 1997. Menerima ASEAN Outstanding Engineering Achievement Award,
dari ASEAN Federation of Engineering Organization (AFEO).
·         Tahun 1996. Menerima Adhicipta Rekayasa, dari Persatuan Insinyur Indonesia.
·         Tahun 1992. Masuk  dalam Buku American Menand Women of Science, RR Bowker,
New York, Amerika Serikat.
·         Tahun 1987. Menjadi Lulusan Terbaik, Jurusan Teknik Elektro, Institut Teknologi Bandung.

Sosok Onno merupakan sosok yang memberikan saya sebuah inspirasi, bahwa memajukan rakyat dengan berbagai teknologi itu penting, ia mengajarkan kita bahwa peduli terhadap sesama di zaman yang modern ini adalah sesuatu yang penting. Kita bisa sama-sama pintar apabila kita mau berbagi, berbagai dalam hal apapun, terutama ilmu. Ibarat kata ilmu apabila dibagi tidak akan pernah habis, bahkan akan semakin bertambah. Pak Onno terima kasih atas pengajarannya, tentang pentingnya berbagai terhadap sesama.

Senin, 24 Mei 2010

Komunikasi Diantara Relasi Orang Tua dan Anak Studi Kasus: “Anak yang menjadi korban Orang Tua Ambisius (Push Parenting)”

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah
Kebanyakan orang tua berharap untuk membuat anak-anak mereka mempunyai suatu kemampuan yang super kompetitif. Sehingga tidak mengherankan kebanyakan orang tua yang berpandangan bahwa  push parenting adalah wajar untuk diterapkan oleh setiap orang tua dalam mendidik anak-anak mereka.

Dalam bukunya, Elisabeth Guthrie dan Kathy Matthews menjelaskan tentang beberapa ciri perilaku yang menjadi tanda dari push parenting[1], yaitu:
1.      Mengatur nyaris setiap menit hidup anaknya dengan kursus-kursus, program sosialisasi, dan kegiatan-kegiatan pengayaan lainnya.
2.      Menuntut prestasi tinggi di sekolah dan di berbagai bidang lain, nyaris dengan segala cara (emosional, psikologis, fisik, dan dana).
3.      Menekan anak memilih kursus, pelatihan, atau minat lebih untuk tujuan membuat CV (Curriculum Vitae) atau Daftar Riwayat Hidup yang mengesankan daripada untuk memenuhi rasa ingin tahu yang alamiah dan minat pribadi.
4.      Mencampuri persahabatan dan hubungan anak dengan guru dan pelatihnya.

Dalam hal ini, para orang tua yang menerapkan push parenting berasumsi bahwa anak-anak mereka tidak akan berhasil dalam kehidupan mereka kelak, kalau orang tua tidak membantu mereka sepenuhnya.[2] Anak-anak sama sekali tidak mampu memutuskan sendiri pilihan yang bertanggung jawab demi masa depan mereka. Karena itu orang tualah yang harus memilih buat mereka dan mereka harus mengikutinya, walaupun dengan kondisi terpaksa.

Sehingga diantara orang tua dan anak dibutuhkan adanya suatu komunikasi, dimana komunikasi itu sendiri menjadi salah satu hal yang penting dalam hidup. Dengan berkomunikasi, orang tua dan anak bisa menyampaikan keinginan, menyatakan kasih, menunjukkan penghormatan, dan lain sebagainya. Demikian pula dalam relasi antara orang tua dan anak. Komunikasi menjadi faktor penting dalam mendidik anak. Tanpa adanya jalinan komunikasi yang baik, maka orang tua dan anak tidak dapat saling mengenal kebutuhan, kekurangan, dan kelebihan masing-masing.

Oleh sebab itu, disini saya ingin meneliti tentang pola relasi orang tua dan anak dalam hal berkomunikasi, yang mengacu pada studi kasus tentang “Anak yang menjadi korban Orang Tua Ambisius (Push Parenting)”.

I.2 Rumusan Masalah
Sistem pengasuhan anak dengan sistem push parenting seolah-olah menjadi suatu pembenaran karena tujuannya yang sangat baik yaitu semua itu dilakukan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri.[3] Anak-anak perlu dibekali dengan segala hal yang diperlukan agar nanti mereka berhasil, bahagia, dan mampu bersaing dengan yang lainnya. Sehingga muncul pertanyaan yang berkaitan dengan masalah push parenting, yaituApakah ada hubungan komunikasi antara orang tua dan anak sebagai bukti adanya kasih dan kepedulian orang tua terhadap anak?”


I.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan manfaat dari penulisan tentang push parenting, yaitu memberikan suatu gambaran serta menganalisa tentang tujuan dan manfaat dari push parenting.
1.      Menganalisa alasan-alasan yang melatarbelakangi orang tua menerapkan pola pengasuhan tersebut.
2.      Mengetahui konsekuensi atau dampak yang akan dialami anak sebagai akibat pola pengasuhan tersebut.
I.4 Metode Penelitian
Dalam penelitian tentang push parenting, menggunakan tipe penulisan deskriptif dengan pendekatan kualitatif untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru dengan menekankan pada sifat realitas yang dibangun secara sosial serta hubungan intim antara periset yang dipelajari, dan kendala situasional yang membentuk penelitian. Penelitian kualitatif biasanya mengejar data verbal yang lebih mewakili fenomena dan bukan angka-angka yang penuh prosentase.[4] Selain itu juga berisi tentang kutipan-kutipan data untuk memberi suatu gambaran obyektif tentang permasalahan yang muncul.

I.5 Kerangka Konseptual
Untuk memahami dan menjadi acuan dalam pembahasan mengenai proses push parenting, maka dipergunakan beberapa konsep dalam sosiologi.

I.5.1 Discipline and Self- Esteem
Antara anak dengan orang tua, pasti akan tercipta sebuah kedisiplinan yang bermula  dari proses sosialisasi. Disiplin merupakan esensi dari pertumbuhan anak. Artinya, orang tua harus membantu anaknya dalam mengontrol perilaku mereka, membangun kedisiplinan dalam diri seorang anak, bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan, dan membangun rasa kepekaan anak. Penerapan disiplin ini harus sesuai dengan individu dan situasi yang dialami anak tersebut. Pola penerapan disiplin antara orang tua yang satu dengan orang tua yang lain berbeda.

Terdapat 3 pola penerapan disiplin di dalam proses sosialisasi, yaitu: otoritaria, otoritative, dan permisif. Menurut Dr. Benjamin Spock metode yang moderat (tipe otoritatif) merupakan metode disiplin yang lebih baik dari 2 pola disiplin lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, tiga klasifikasi tipe disiplin orang tua dan tingkatan kontrol terhadap anak, yaitu:
1.      Permissiveness adalah tipe orang tua yang cenderung menerima kemauan anak. Di mana orang tua banyak memberikan dukungan emosi, tetapi kontrol terhadap anaknya sedikit.
2.      Autoritarian adalah tipe orang tua yang menekan nilai-nilai kepatuhan. Pada tipe ini orang tua memberikan sedikit dukungan emosi, tetapi orang tua menggunakan tindakan koersif dalam mengontrol anak-anak mereka.
3.      Authoritativeness adalah tipe orang tua yang menggabungkan dukungan emosi yang tinggi dengan kontrol yang moderat terhadap anak-anak mereka. Dalam hal ini terjadi hubungan dua arah diantara orang tua dan anak (give and take). Menurut para ahli, tipe ini merupakan tipe yang baik dalam membangun suatu hubungan di antara orang tua dengan anak. Karena dengan adanya kelonggaran yang terjalin antara orang tua dengan anak, si anak akan mendapatkan self-esteem[5] yang tinggi. Anak-anak yang memiliki keinginan-keinginan yang terpendam dapat diutarakan dan sebagai orang tua, apa yang diinginkan anak, kemudian diarahkan sesuai apakah hal tersebut pantas atau baik untuk diri mereka. Sehingga, antara orang tua dan anak terjalin komunikasi dua arah. Serta anak merasa dihargai, dengan begitu self esteem muncul pada anak.

I.5.2 Parenting Over the Life Cycle
Seiring pertumbuhan anak, pengasuhan dari orang tua kepada anak pun akan berubah secara dramatis. Dalam pembahasan kali ini, perubahan pengasuhan ini  terbagi menjadi tiga bagian, yaitu parenting the infant and toddler, parenting the preschool child, dan parenting the schoolage child. Dengan adanya perubahan dari pertumbuhan anak , maka hal ini juga mempengaruhi hubungan antara orang tua dengan anak.
I.5.2.a Parenting the Infant and Toddler
Erik Erikson (1950) menyebut masa pertumbuhan sebagai pembelajaran rasa percaya terhadap orang lain. Orang tua harus membantu anak mereka untuk percaya pada mereka dengan memahami kebutuhan anak dan merespon ketidakmampuan anak dalam suatu hal. Contohnya, seperti ketika bayi menangis, ayah dan ibu akan menenangkannya dengan memberikan suatu kenyamanan pada bayi mereka. Selain itu ketika bayi mereka lapar, orang tua akan memberi ia makan. Pola kepedulian ini akan membentuk bayi untuk belajar mempercayai orang lain dan dampaknya sangat penting bagi kesehatan emosi anak nantinya. Ketika anak sudah pada tahap dapat berjalan, maka orang tua harus mulai menerima pertumbuhan anak yang bebas. Pada tahap ini Erikson menyebutnya dengan seeking autonomy.If infants receive good care and nurturing (characterized by emotional warmth, security, and love) from their parents they will develop a sense of trust. If they do not receive such care, they will become mistrust and anxious about their surroundings.[6]
Dalam tahap pengasuhan bayi dan anak kecil yang baru berjalan ini orang tua harus menjaga kesehatan dan kehidupan dari anak tersebut. Karena pada tahun pertama bayi sangat riskan terhadap kecelakaan yang tidak bisa dihindari, seperti jatuh, tenggelam, keracunan, dll. Oleh karena itu, orang tua juga harus dapat mencegah bayi agar terhindar dari benda-benda berbahaya seperti obat-obatan dan juga tempat-tempat berbahaya seperti jalanan dan kolam renang. Terakhir, orang tua harus mengimunisasi anak mereka agar terhidar dari virus dan penyakit, seperti polio, hepatitis, tetatus, dan lain-lain.
Dalam melaksanakan tugas pengasuhan anak, orang tua menghadapi tantangan dalam perkembangan diri mereka sendiri. Evelyn Duvall, manjabarkan hal tersebut dalam teorinya “developmental theorist”. Dalam  teorinya, ia menyebutkan bahwa kedua orang tua harus memenuhi dua hal sebagai berikut:
1.         Reconcile conflicting conceptions of roles. Banyak ibu muda yang menyadari bahwa dengan memiliki anak, maka waktunya bersama teman-temannya akan berkurang. Begitu juga dengan ayah baru harus menerima fakta bahwa istrinya tidak dapat memberikan waktu dan perhatian yang lebih banyak untuknya. Masing-masing orang tua harus mengevaluasi ulang dari peran mereka sendiri serta pasangannya. Dan orang tua harus dapat mengembangkan konsepsi apa yang harus mereka lakukan terhadap anak mereka, agar sesuai dengan yang mereka harapkan terhadap anak mereka.
2.         Accepting and adjusting to the strains and pressures of parenthood. Sebagai orang tua yang baru memiliki anak, maka ia harus dapat menerima dan menyesuaikan diri dari tekanan-tekanan dan ketegangan yang terjadi. Artinya, orang tua harus mempedulikan bayinya dengan segenap kemampuan mereka dan menyediakan segala peluang untuk pengembangan anak.
3.         Maintaining the couple relationship. Sebagai orang tua baru, sepasang suami istri harus memelihara kebahagian dari hubungan mereka, saling bertanggung jawab sebagai orang tua, dan tetap menjaga  otonomi masing-masing, misalnya beberapa pasangan membiarkan pasangannya memiliki waktunya sendiri.
4.         Exploring and developing a sense of being a family. Untuk mendapatkan dan membangun sense dari sebuah keluarga, maka orang tua dapat mencari suatu kebahagian dalam bentuk aktivitas keluarga, seperti piknik ke luar kota, pergi ke taman bermain, atau pun museum, yang tujuannya agar anggota keluarga dapat menikmati kebahagian tersebut.


I.5.2.b Parenting the Preschool Child
Pengasuhan pada tahap anak sebelum sekolah ini merupakan ketika anak pada umur antara dua sampai lima tahun. Terdapat  isu-isu yang terkait dengan tahap preschool. Pertama, manajemen of separation, yaitu aspek yang essensial dari pengasuhan orang tua dalam tahap anak sebelum sekolah.  jika di jaman dahulu anak hanya berinteraksi dengan satu figur, yaitu orangtuanya terutama ibu karena orang sangat cemas meninggalkan anaknya dengan babysitter.  Tetapi sekarang, yang terjadi adalah pemisahan ini perlu karena sebenarnya seorang anak akan mendapatkan keuntungan dengan berinteraksi dengan orang lain, seperti teman-temannya di day care atau saudara-saudaranya.
Isu sensitif selanjutnya pada tahap preschooler, yaitu bagaimana orang tua merespon tindakan anak mereka yang mulai agresif, seperti nakal dan keras kepala. Kemudian orangtua mencoba meberi hukuman atas perilaku seperti suka mengambil sesuatu yang tidak seharusnya pada umur dua tahun dan pertengkaran dan membohong  pada umur empat tahun.
Selanjutnya pada tahap ini yang issu yang paling besar adalah bagaimana orangtua membangun identitas gender pada anaknya. Seperti pada laki-laki mereka lebih aktif, agresif, dan lebih tetarik pada suatu objek, sedangkan perempuan lebih suka mengalah atau tunduk, lebih mengekspresikan emosi, dan lebih tertarik pada orang-orang.
I.5.2.c Parenting the Schoolage Child
Pengasuhan orang tua terhadap anak pada tahap sekolah, terjadi ketika anak sekitar umur 5 atau 6 tahun hingga 11 atau 12 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai bergerak ke arah peer group dan mulai menjauh dari ketergantungan  pada unit-unit keluarga, dalam hal ini dukungan dari orang tua sangatlah penting. Erikson menyebut hal ini sebagai pembelajaran pada anak untuk memenangkan tugas yang diberikan dari guru.
Memasuki sekolah, maka  membawa anak dan orang tua kepada pengalaman baru di dalam komunitas yang luas. Sehingga membuat lingkungan sekolah sangat penting dalam membangun perilaku anak pada periode ini. Di sisi lain, orang tua juga mendapat tantangan atas pengaruh yang didapatkan oleh anaknya, seperti dari gurunya, teman-temannya. Sehingga membuat anak peduli pada isu sosial dan moral. 
Isu yang penting pada tahap ini adalah mengenai prestasi dari anak. Terdapat dua motivasi yang membuat anak mendapatkan prestasi. Pertama, keinginan anak itu sendiri seberapa kuat dia ingin mendapatkan prestasi. Kedua, identifikasi anak tersebut terhadap orang tuanya yang menjadi model terhadapnya. Misalnya, jika orang tuanya menyukai buku maka anak cenderung juga menyukai buku.
Sekolah dapat membantu mengatasi dampak dari masalah jenis kelamin dan ras yang menjadi hambatan. Contohnya, sekolah sangat mendukung kompetisi sepak bola untuk perempuan. Kemudian hal ini akan berdampak pada penerimaan perempuan sepak bola sebagai satu hal yang bisa mereka mainkan.
Evelyn Duvall menuliskan tugas perkembangan untuk orang tua dalam tahap anak sekolah sebagai sebuah kenikmatan hidup bersama anak, mondorong pertumbuhan anak, menyediakan kebutuhan spesial mereka. Pada tahap ini orang tua memiliki peran yang penting dalam perkembangan anak. Dalam periode ini kesibukan akan berkurang dibanding tahap sebelumnya. Dan anak pun tidak tumbuh secara cepat dan kebanhyak dari mereka sangat puas terhadap hubungan keluarga dan sangat menikmati aktivitas bersama keluarga.

I.5.3 Hubungan antara Orang Tua dan Anak (The Parent-Child Relation)
   Orang tua memiliki peran dalam memberikan sosialisasi terhadap anaknya. Cakupan sosialisasi yang diberikan kepada anaknya meliputi emotional support­ kasih sayang, cinta, dan asuhan. Emotional support ini merupakan cermin bagi anak bahwa orang tua memiliki kepedulian terhadap anaknya. Dari tahap ini, anak akan memiliki rasa percaya diri karena telah mendapat sesuatu yang itu membangun harga diri anak. Untuk selanjutnya, anak ini akan memiliki self esteem tinggi di dalam pergaulan.
Salah satu diantara inti dari sosialisasi di dalam keluarga, si anak pada tahap pertumbuhannya dikenalkan pada budaya familiar. Dalam hal ini bahasa merepresentasikan hal tersebut. Bahasa merupakan budaya yang diajarkan di dalam keluarga, dimana tidak hanya dalam kelurga saja bahasa itu diterapkan, tetapi ketika kelak si anak masuk ke dalam kehidupan masyarkat yang lebih kompleks, komunikasi akan sangat diperlukan.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Studi Kasus
Kasus seorang anak berusia 8 tahun yang dibawa orang tuanya menemui konselor untuk mendapatkan pertolongan. Hary adalah seorang siswa kelas 2 SD di sebuah sekolah favorit di kotanya. Hani, kakak Hary juga bersekolah di sekolah yang sama, kelas 5 SD. Orang tua mereka bersedia mengeluarkan biaya sekolah yang sangat besar demi anak-anak mereka bisa diterima dan bersekolah disana. Dengan bangganya mereka akan memberitahukan bahwa anak-anak mereka bersekolah disana ketika ada yang menanyakan hal itu. Setelah pulang sekolah, sekitar pukul 3 sore, hampir setiap hari, kecuali hari Rabu, Sabtu, dan Minggu, Hary dan Hani harus mengikuti berbagai kursus lainnya yang ditentukan oleh orang tua mereka. Menurut orang tuanya, sudah beberapa hari ini Hary ngambek tidak mau ke sekolah. Ketika ditanya orang tuanya, Hary tetap diam, tidak mau menjawab. Memang sudah sejak beberapa bulan yang lalu, semenjak sekolah Hary menerapkan program full day school, Hary terlihat sering marah-marah, mudah tersinggung, malas ke sekolah dengan berbagai alasan, dan kalau berangkat ke sekolah rasanya berat sekali. Orang tua Hary kebingungan karena tidak seperti biasanya Hary bersikap demikian. Melalui konseling, akhirnya bisa dipastikan bahwa Hary merasa tertekan karena tuntutan orang tuanya yang terlalu berlebihan. Hary harus menjadi yang terbaik dalam segala hal. Beberapa kali Hary pernah mengeluhkan hal itu kepada orang tuanya, tetapi sambil disertai dengan omelan, selalu dijawab bahwa semua tuntutan itu demi masa depannya. Karena itu akhirnya Hary memilih diam saja ketika ditanya mengapa dia tidak mau ke sekolah. Gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua Hary dalam contoh kasus tersebut disebut push parenting, yaitu gaya pengasuhan yang terlalu menuntut.

II.2 Studi Kasus dikaitkan dengan Kerangka Konseptual
Dari kasus tersebut banyak orang tua yang menerapkan push parenting merasa terpaksa menerapkan pola pengasuhan tersebut.[7] Keterpaksaan orang tua disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini.
1.      Ketakutan dan Kekuatiran yang Berlebihan
Banyak orang tua sangat takut dan kuatir kalau tidak ada usaha terus menerus untuk memacu prestasi anak-anak mereka, ketika dewasa nanti anak anak itu tidak bisa berkompetisi dan akhirnya gagal. Ketakutan dan kekuatiran itu semakin terprovokasi karena tidak ada ukuran yang pasti untuk mengukur keberhasilan orang tua dalam mengasuh anak mereka, sampai semuanya sudah berakhir nanti. Ketidaktahuan ini semakin membuat orang tua merasa tidak nyaman dan tidak mempunyai kontrol.[8] Ketidaknyaman inilah yang mendorong orang tua melakukan apa saja, bahkan menuntut anak mereka secara berlebihan untuk mengantisipasi kegagalan di depan.

2.      Kompensasi dari Ketiadaan Kesempatan di Waktu Lalu
Kesempatan yang dimiliki para orang tua di masa kecil mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kesempatan yang dimiliki anak-anak sekarang untuk terus mengembangkan diri mereka. Kita sering kali mendengar komentar para orang tua bahwa mereka berusaha mati-matian agar anak-anak mereka tidak mengalami nasib yang sama seperti mereka pada waktu dulu. Semahal apa pun pengorbanan yang harus diberikan supaya anak-anak bisa menjadi seperti yang mereka harapkan, para orang tua menganggap itu sebagai investasi yang pantas.[9] Menurut J. Drost adalah sesuatu yang tidak masuk akal kalau beranggapan bahwa anak harus mencapai sesuatu karena orang tua sendiri tidak berhasil mencapainya karena sebab apa pun juga.[10] Inilah yang disebut dengan tujuan yang tersembunyi oleh V.G. Beers.[11] Seolah-olah orang tua ingin mengalami sendiri apa yang tidak dapat dilakukannya dahulu melalui anak-anaknya.
Dengan tersedianya banyak kesempatan, pengharapan akan masa depan anak yang lebih baik adalah hal yang sangat positif dan sudah seharusnya, tetapi akan berdampak sangat negatif, apabila pengharapan itu sampai memunculkan tuntutan yang berlebihan dari diri anak.

Bila dikaitkan dengan kerangka konseptual dalam sosiologi maka, dalam konteks ini kasus tersebut dilakukan oleh orang tua dari Hary karena salah satunya disebabkan oleh pengalaman orang tua yang ingin melihat anaknya lebih memiliki suatu kesempatan yang lebih baik ketimbang pengalaman orang tuanya pada saat itu. Selain itu, jika ditelaah maka push parenting dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari authoritarian parenting, karena kecenderungan dalam push parenting adalah orang tua hanya akan mendukung keinginan anak yang sesuai dengan ambisi mereka, dan pengawasan ekstra ketat akan dilakukan orang tua selama proses pencapaian ambisi itu. Sehingga, apa yang menjadi minat anak sering kali diabaikan oleh orang tua. Walaupun begitu, harus diakui bahwa anak-anak memang masih sangat membutuhkan pengarahan dan pengawasan dari orang tua mereka. Tetapi dalam push parenting, sepertinya anak tidak diberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka, termasuk segala kompetensi yang dimiliki, yang mungkin tidak disadari oleh orang tua.

Sehingga dalam hal ini, orang tua lebih menggunakan pola autoritarian (autoritatif) dalam mendidik Hani dan Hary, sehingga orang tua lebih terlihat berperilaku menuntut (push parenting). Dalam hal ini, orang tua Hary yang dipandang mampu secara materi berusaha untuk menuntut anak-anak mereka masuk ke dalam sekolah-sekolah unggulan (favorit), padahal tanpa mereka ketahui secara kemampuan intelektual hal tersebut tidak mendukung kemampuan diri Hary. Jika dilihat lebih lanjut, biasanya hal tersebut dilakukan oleh para orang tua agar anak-anak mereka tidak terlalu sulit mendapatkan pekerjaan baik yang bisa menjamin masa depan mereka nanti. Keautoritatif tersebut, mungkin sudah dipersiapkan matang-matang oleh orang tua Hary sejak sebelum mereka menikah, selama masa-masa kehamilan, sampai melahirkan, mereka sudah melakukan persiapan panjang untuk mewujudkan angan-angan ideal mereka tentang anak yang akan dilahirkan.

Selain itu, tanpa adanya sebuah komunikasi yang terjalin di dalam kedua belah pihak, baik orang tua ataupun anak sendiri, orang tua dalam hal ini memaksakan kemauannya begitu saja. Orang tua menganggap bahwa anak harus menjadi seperti imbalan atas segala jerih payah dan investasi waktu, emosi, pikiran, dan uang yang sudah dikorbankan selama ini. Padahal dengan cara tersebut, tanpa adanya komunikasi yang terjalin dan orang tua yang secara terus menerus memaksakan kehendak mereka masing-masing, akan berakibat pada sebuah efek dimana banyak orang tua yang tidak bisa membedakan lagi antara kebutuhan mereka (orang tua itu sendiri) dengan kebutuhan anak mereka. Dalam hal ini, anak seakan selalu dituntut untuk mau tidak mau segera membuat orang tua bisa menikmati kesuksesan mereka.

      Dengan adanya push parenting, membuat masa-masa keceriaan kanak-kanak Hary menjadi terenggut. Mau tidak mau setiap harinya, Hary selalu dituntut untuk mengikuti berbagai kursus yang telah orang tuanya tentukan. Hal inilah yang berdampak pada diri Hary. Dimana ia merasa sangat tertekan, selalu mengambek hingga akhirnya ia tidak mau sekolah dan bertemu dengan teman-teman satu sekolahnya, bahkan bisa menghambat perkembangan masa pertumbuhannya, baik pola pikir, kedewasaan, dan kontrol emosi dirinya.

Jika sudah mencapai batasnya, maka diantara orang tua dan anak dibutuhkan adanya komunikasi dua arah. Orang tua dalam hal ini, setidak-tidaknya bisa menerapkan pola permissiveness, dimana cenderung bisa menerima kemauan anak. Begitu juga yang seharusnya dilakukan oleh orang tua Hary, seharusnya sebagai orang tua,  bisa mengetahui apa yang anak-anaknya sukai dan bisa memacu prestasi mereka di sekolah tanpa adanya tekanan yang dirasakan oleh anak, tentunya tetap memberikan dukungan emosi dan kontrol terhadap anak, selain itu anak yang menjalani kegiatannya, seharusnya selalu bisa terbuka pada orang tua.

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Dari uraian mengenai studi kasus tersebut, maka diketahui bahwa komunikasi diantara orang tua dan anak sangat dibutuhkan, khususnya bagi orang tua yang begitu berambisius (push parenting) terhadap prestasi anak di sekolah. Karena dengan adanya sikap push parenting yang dilakukan oleh orang tua akan memicu suatu dampak bagi anak-anak mereka, yaitu depresi. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya sikap tertekan yang dirasakan oleh anak-anak baik dalam hal berprestasi, tingkat produktif, dan mencapai kesuksesan. Selain itu dengan adanya push parenting, maka akan membuat anak terhambat dalam membentuk suatu pribadi yang mandiri. Push parenting juga memungkinkan seorang anak untuk menciptakan pribadi yang perfeksionis. Karena tuntutan berlebihan yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka. Norman Wright menyebut orang-orang perfeksionis sebagai orang yang sukses dalam kegagalan, karena itu tidak sedikit di antara orang-orang tersebut mempunyai hidup yang sukses, tetapi masih merasa kosong dan tidak puas. Selain itu, orang yang perfeksionis sudah pasti akan menemukan banyak kesulitan dalam pergaulan, karena mereka sulit menerima keterbatasan orang, contohnya yang dirasakan oleh Hary. Dalam pergaulannya dengan temen-temen dan lingkungannya di sekolah kurang, yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan di hari-hari sekolahnya, sehingga membuat diri Hary tidak bisa merasakan masa kanak-kanak dan keceriaannya dengan teman-teman sebaya dan lingkungan bermainnya.

III.2 Saran
Dalam hal ini, dibutuhkan adanya saran yaitu pada saat akan memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan anak, seharusnya orang tua melakukan komunikasi terlebih dahulu kepada anak-anak mereka dengan cara mengajak anak-anak mereka berunding tentang apa yang terbaik buat anak-anak mereka. Karena selama ini, sering kali para orang tua tidak mau mengajak anak-anak mereka untuk  ikut berunding, hal ini di karenakan mereka berpikir tindakan itu hanya akan menunjukkan kelemahan mereka sebagai orang tua yang seharusnya berwenang penuh atas anak. Tetapi, sebenarnya justru tidak demikian. Dengan melibatkan anak menunjukkan penghargaan dan kepedulian orang tua pada anak. Anak mempunyai hak untuk berbicara dan mengemukakan apa yang menjadi kesenangan atau pun keberatan mereka dan orang tua berkewajiban untuk mendengarkan. Anak-anak butuh didengarkan dan dimengerti, yang mengindikasikan bahwa mereka diterima. Hal ini merupakan sesuatu yang esensial sekali untuk anak dapat memiliki penghargaaan diri (self esteem) yang positif, dan menumbuhkan keterampilan untuk membuat berbagai keputusan secara bertanggung jawab ketika mereka dewasa nanti.  Orang tua perlu belajar banyak untuk menunjukkan penghargaan kepada anak-anak mereka dengan cara yang sangat sederhana, yaitu mendengarkan. Selain dengan komunikasi, dibutuhkan juga adanya bimbingan konseling yang diikuti oleh para orang tua dan anak, karena dengan cara begitu orang tua dapat lebih mengetahui kemauan anak dan anak dapat selalu terbuka tentang apa yang ia inginkan dan dapat memacu prestasi serta pola pikirnya.

DAFTAR PUSTAKA


Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Salim. Agus. Eds. II. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana: Jakarta.
Kendall. Diana. 2009. Sociology in Our Times. Edisi Ketujuh. Thomson Wadsworth: USA
Qanita. 2003. Anak Sempurna atau Anak Bahagia?: Dilema Orang Tua Modern. Bandung
Kompas. 2000. Anak Anda Takut Gagal? Keluarga Kunci Sukses Anak. Jakarta
Kalam Hidup. 1997. Orang tua, Berbicaralah dengan Anak Anda!. Bandung
Ubaydillah. 2007.  Berapakah Harga Diri Anda?. Jakarta
http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=429. Diakses pada 3 April 2010. pukul 09:53 WIB



[1] Anak Sempurna atau Anak Bahagia?: Dilema Orang Tua Modern (Bandung: Qanita, 2003) 20-21.

[2] Menurut Jack dan Judith Balswick, berdasarkan pendekatan socioemotional dikenal empat gaya pengasuhan anak, yaitu (1) neglectful parenting, gaya pengasuhan yang lemah dalam dukungan maupun pengawasan; (2) permissive parenting, gaya pengasuhan yang lemah dalam pengawasan tetapi kuat dalam dukungan; (3) authoritarian parenting, gaya pengasuhan yang lemah dalam dukungan, tetapi kuat dalam pengawasan; (4) authoritative parenting, gaya pengasuhan yang mengkombinasikan kualitas terbaik dari permissive dan authoritarian style (Jack O. Balswick dan Judith K. Balswick, The Family: A Christian Perspective on the Contemporary Home [Grand Rapids: Baker, 1989] 98-101). Menurut penulis, push parenting dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari authoritarian parenting, karena kecenderungan dalam push parenting adalah orang tua hanya akan mendukung keinginan anak yang sesuai dengan ambisi mereka, dan pengawasan ekstra ketat akan dilakukan orang tua selama proses pencapaian ambisi itu. Apa yang menjadi minat anak sering kali diabaikan oleh orang tua. Harus diakui anak-anak memang masih sangat membutuhkan pengarahan dan pengawasan dari orang tua mereka. Tetapi dalam push parenting sepertinya anak tidak diberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka, termasuk segala kompetensi yang dimiliki, yang mungkin tidak disadari oleh orang tua.

[3]Guthrie dan Matthews, Anak Sempurna 25.

[4] Agus Salim  (Eds. II). Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana:Jakarta.
[5] Self-esteem atau self worth, diartikan sebagai harga diri (how you feel about yourself). Kata "bagaimana" di situ mengarah pada adanya kualifikasi rendah dan tinggi atau positif dan negatif (low and high self-esteem). Diakses dari: http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=429. Ubaydillah. Berapakah Harga Diri Anda?. Jakarta, 22 Juni 2007. Diakses pada 3 April 2010, pukul 09:53 WIB.
[6] Diana Kendall. 2009. Sociology in Our Times. Edisi Ketujuh. USA: Thomson Wadsworth. hlm 112.
[7] Ibid. 33.
[8] Ibid. 70.

[9] Ibid. 24.

[10] Anak Anda Takut Gagal? dalam Keluarga Kunci Sukses Anak (Jakarta: Kompas, 2000) 118.

[11] Orang tua, Berbicaralah dengan Anak Anda! (Bandung: Kalam Hidup, 1997) 41-42.