Senin, 24 Mei 2010

Komunikasi Diantara Relasi Orang Tua dan Anak Studi Kasus: “Anak yang menjadi korban Orang Tua Ambisius (Push Parenting)”

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah
Kebanyakan orang tua berharap untuk membuat anak-anak mereka mempunyai suatu kemampuan yang super kompetitif. Sehingga tidak mengherankan kebanyakan orang tua yang berpandangan bahwa  push parenting adalah wajar untuk diterapkan oleh setiap orang tua dalam mendidik anak-anak mereka.

Dalam bukunya, Elisabeth Guthrie dan Kathy Matthews menjelaskan tentang beberapa ciri perilaku yang menjadi tanda dari push parenting[1], yaitu:
1.      Mengatur nyaris setiap menit hidup anaknya dengan kursus-kursus, program sosialisasi, dan kegiatan-kegiatan pengayaan lainnya.
2.      Menuntut prestasi tinggi di sekolah dan di berbagai bidang lain, nyaris dengan segala cara (emosional, psikologis, fisik, dan dana).
3.      Menekan anak memilih kursus, pelatihan, atau minat lebih untuk tujuan membuat CV (Curriculum Vitae) atau Daftar Riwayat Hidup yang mengesankan daripada untuk memenuhi rasa ingin tahu yang alamiah dan minat pribadi.
4.      Mencampuri persahabatan dan hubungan anak dengan guru dan pelatihnya.

Dalam hal ini, para orang tua yang menerapkan push parenting berasumsi bahwa anak-anak mereka tidak akan berhasil dalam kehidupan mereka kelak, kalau orang tua tidak membantu mereka sepenuhnya.[2] Anak-anak sama sekali tidak mampu memutuskan sendiri pilihan yang bertanggung jawab demi masa depan mereka. Karena itu orang tualah yang harus memilih buat mereka dan mereka harus mengikutinya, walaupun dengan kondisi terpaksa.

Sehingga diantara orang tua dan anak dibutuhkan adanya suatu komunikasi, dimana komunikasi itu sendiri menjadi salah satu hal yang penting dalam hidup. Dengan berkomunikasi, orang tua dan anak bisa menyampaikan keinginan, menyatakan kasih, menunjukkan penghormatan, dan lain sebagainya. Demikian pula dalam relasi antara orang tua dan anak. Komunikasi menjadi faktor penting dalam mendidik anak. Tanpa adanya jalinan komunikasi yang baik, maka orang tua dan anak tidak dapat saling mengenal kebutuhan, kekurangan, dan kelebihan masing-masing.

Oleh sebab itu, disini saya ingin meneliti tentang pola relasi orang tua dan anak dalam hal berkomunikasi, yang mengacu pada studi kasus tentang “Anak yang menjadi korban Orang Tua Ambisius (Push Parenting)”.

I.2 Rumusan Masalah
Sistem pengasuhan anak dengan sistem push parenting seolah-olah menjadi suatu pembenaran karena tujuannya yang sangat baik yaitu semua itu dilakukan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri.[3] Anak-anak perlu dibekali dengan segala hal yang diperlukan agar nanti mereka berhasil, bahagia, dan mampu bersaing dengan yang lainnya. Sehingga muncul pertanyaan yang berkaitan dengan masalah push parenting, yaituApakah ada hubungan komunikasi antara orang tua dan anak sebagai bukti adanya kasih dan kepedulian orang tua terhadap anak?”


I.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dan manfaat dari penulisan tentang push parenting, yaitu memberikan suatu gambaran serta menganalisa tentang tujuan dan manfaat dari push parenting.
1.      Menganalisa alasan-alasan yang melatarbelakangi orang tua menerapkan pola pengasuhan tersebut.
2.      Mengetahui konsekuensi atau dampak yang akan dialami anak sebagai akibat pola pengasuhan tersebut.
I.4 Metode Penelitian
Dalam penelitian tentang push parenting, menggunakan tipe penulisan deskriptif dengan pendekatan kualitatif untuk memperoleh penemuan-penemuan yang tidak terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru dengan menekankan pada sifat realitas yang dibangun secara sosial serta hubungan intim antara periset yang dipelajari, dan kendala situasional yang membentuk penelitian. Penelitian kualitatif biasanya mengejar data verbal yang lebih mewakili fenomena dan bukan angka-angka yang penuh prosentase.[4] Selain itu juga berisi tentang kutipan-kutipan data untuk memberi suatu gambaran obyektif tentang permasalahan yang muncul.

I.5 Kerangka Konseptual
Untuk memahami dan menjadi acuan dalam pembahasan mengenai proses push parenting, maka dipergunakan beberapa konsep dalam sosiologi.

I.5.1 Discipline and Self- Esteem
Antara anak dengan orang tua, pasti akan tercipta sebuah kedisiplinan yang bermula  dari proses sosialisasi. Disiplin merupakan esensi dari pertumbuhan anak. Artinya, orang tua harus membantu anaknya dalam mengontrol perilaku mereka, membangun kedisiplinan dalam diri seorang anak, bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan, dan membangun rasa kepekaan anak. Penerapan disiplin ini harus sesuai dengan individu dan situasi yang dialami anak tersebut. Pola penerapan disiplin antara orang tua yang satu dengan orang tua yang lain berbeda.

Terdapat 3 pola penerapan disiplin di dalam proses sosialisasi, yaitu: otoritaria, otoritative, dan permisif. Menurut Dr. Benjamin Spock metode yang moderat (tipe otoritatif) merupakan metode disiplin yang lebih baik dari 2 pola disiplin lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, tiga klasifikasi tipe disiplin orang tua dan tingkatan kontrol terhadap anak, yaitu:
1.      Permissiveness adalah tipe orang tua yang cenderung menerima kemauan anak. Di mana orang tua banyak memberikan dukungan emosi, tetapi kontrol terhadap anaknya sedikit.
2.      Autoritarian adalah tipe orang tua yang menekan nilai-nilai kepatuhan. Pada tipe ini orang tua memberikan sedikit dukungan emosi, tetapi orang tua menggunakan tindakan koersif dalam mengontrol anak-anak mereka.
3.      Authoritativeness adalah tipe orang tua yang menggabungkan dukungan emosi yang tinggi dengan kontrol yang moderat terhadap anak-anak mereka. Dalam hal ini terjadi hubungan dua arah diantara orang tua dan anak (give and take). Menurut para ahli, tipe ini merupakan tipe yang baik dalam membangun suatu hubungan di antara orang tua dengan anak. Karena dengan adanya kelonggaran yang terjalin antara orang tua dengan anak, si anak akan mendapatkan self-esteem[5] yang tinggi. Anak-anak yang memiliki keinginan-keinginan yang terpendam dapat diutarakan dan sebagai orang tua, apa yang diinginkan anak, kemudian diarahkan sesuai apakah hal tersebut pantas atau baik untuk diri mereka. Sehingga, antara orang tua dan anak terjalin komunikasi dua arah. Serta anak merasa dihargai, dengan begitu self esteem muncul pada anak.

I.5.2 Parenting Over the Life Cycle
Seiring pertumbuhan anak, pengasuhan dari orang tua kepada anak pun akan berubah secara dramatis. Dalam pembahasan kali ini, perubahan pengasuhan ini  terbagi menjadi tiga bagian, yaitu parenting the infant and toddler, parenting the preschool child, dan parenting the schoolage child. Dengan adanya perubahan dari pertumbuhan anak , maka hal ini juga mempengaruhi hubungan antara orang tua dengan anak.
I.5.2.a Parenting the Infant and Toddler
Erik Erikson (1950) menyebut masa pertumbuhan sebagai pembelajaran rasa percaya terhadap orang lain. Orang tua harus membantu anak mereka untuk percaya pada mereka dengan memahami kebutuhan anak dan merespon ketidakmampuan anak dalam suatu hal. Contohnya, seperti ketika bayi menangis, ayah dan ibu akan menenangkannya dengan memberikan suatu kenyamanan pada bayi mereka. Selain itu ketika bayi mereka lapar, orang tua akan memberi ia makan. Pola kepedulian ini akan membentuk bayi untuk belajar mempercayai orang lain dan dampaknya sangat penting bagi kesehatan emosi anak nantinya. Ketika anak sudah pada tahap dapat berjalan, maka orang tua harus mulai menerima pertumbuhan anak yang bebas. Pada tahap ini Erikson menyebutnya dengan seeking autonomy.If infants receive good care and nurturing (characterized by emotional warmth, security, and love) from their parents they will develop a sense of trust. If they do not receive such care, they will become mistrust and anxious about their surroundings.[6]
Dalam tahap pengasuhan bayi dan anak kecil yang baru berjalan ini orang tua harus menjaga kesehatan dan kehidupan dari anak tersebut. Karena pada tahun pertama bayi sangat riskan terhadap kecelakaan yang tidak bisa dihindari, seperti jatuh, tenggelam, keracunan, dll. Oleh karena itu, orang tua juga harus dapat mencegah bayi agar terhindar dari benda-benda berbahaya seperti obat-obatan dan juga tempat-tempat berbahaya seperti jalanan dan kolam renang. Terakhir, orang tua harus mengimunisasi anak mereka agar terhidar dari virus dan penyakit, seperti polio, hepatitis, tetatus, dan lain-lain.
Dalam melaksanakan tugas pengasuhan anak, orang tua menghadapi tantangan dalam perkembangan diri mereka sendiri. Evelyn Duvall, manjabarkan hal tersebut dalam teorinya “developmental theorist”. Dalam  teorinya, ia menyebutkan bahwa kedua orang tua harus memenuhi dua hal sebagai berikut:
1.         Reconcile conflicting conceptions of roles. Banyak ibu muda yang menyadari bahwa dengan memiliki anak, maka waktunya bersama teman-temannya akan berkurang. Begitu juga dengan ayah baru harus menerima fakta bahwa istrinya tidak dapat memberikan waktu dan perhatian yang lebih banyak untuknya. Masing-masing orang tua harus mengevaluasi ulang dari peran mereka sendiri serta pasangannya. Dan orang tua harus dapat mengembangkan konsepsi apa yang harus mereka lakukan terhadap anak mereka, agar sesuai dengan yang mereka harapkan terhadap anak mereka.
2.         Accepting and adjusting to the strains and pressures of parenthood. Sebagai orang tua yang baru memiliki anak, maka ia harus dapat menerima dan menyesuaikan diri dari tekanan-tekanan dan ketegangan yang terjadi. Artinya, orang tua harus mempedulikan bayinya dengan segenap kemampuan mereka dan menyediakan segala peluang untuk pengembangan anak.
3.         Maintaining the couple relationship. Sebagai orang tua baru, sepasang suami istri harus memelihara kebahagian dari hubungan mereka, saling bertanggung jawab sebagai orang tua, dan tetap menjaga  otonomi masing-masing, misalnya beberapa pasangan membiarkan pasangannya memiliki waktunya sendiri.
4.         Exploring and developing a sense of being a family. Untuk mendapatkan dan membangun sense dari sebuah keluarga, maka orang tua dapat mencari suatu kebahagian dalam bentuk aktivitas keluarga, seperti piknik ke luar kota, pergi ke taman bermain, atau pun museum, yang tujuannya agar anggota keluarga dapat menikmati kebahagian tersebut.


I.5.2.b Parenting the Preschool Child
Pengasuhan pada tahap anak sebelum sekolah ini merupakan ketika anak pada umur antara dua sampai lima tahun. Terdapat  isu-isu yang terkait dengan tahap preschool. Pertama, manajemen of separation, yaitu aspek yang essensial dari pengasuhan orang tua dalam tahap anak sebelum sekolah.  jika di jaman dahulu anak hanya berinteraksi dengan satu figur, yaitu orangtuanya terutama ibu karena orang sangat cemas meninggalkan anaknya dengan babysitter.  Tetapi sekarang, yang terjadi adalah pemisahan ini perlu karena sebenarnya seorang anak akan mendapatkan keuntungan dengan berinteraksi dengan orang lain, seperti teman-temannya di day care atau saudara-saudaranya.
Isu sensitif selanjutnya pada tahap preschooler, yaitu bagaimana orang tua merespon tindakan anak mereka yang mulai agresif, seperti nakal dan keras kepala. Kemudian orangtua mencoba meberi hukuman atas perilaku seperti suka mengambil sesuatu yang tidak seharusnya pada umur dua tahun dan pertengkaran dan membohong  pada umur empat tahun.
Selanjutnya pada tahap ini yang issu yang paling besar adalah bagaimana orangtua membangun identitas gender pada anaknya. Seperti pada laki-laki mereka lebih aktif, agresif, dan lebih tetarik pada suatu objek, sedangkan perempuan lebih suka mengalah atau tunduk, lebih mengekspresikan emosi, dan lebih tertarik pada orang-orang.
I.5.2.c Parenting the Schoolage Child
Pengasuhan orang tua terhadap anak pada tahap sekolah, terjadi ketika anak sekitar umur 5 atau 6 tahun hingga 11 atau 12 tahun. Pada tahap ini, anak-anak mulai bergerak ke arah peer group dan mulai menjauh dari ketergantungan  pada unit-unit keluarga, dalam hal ini dukungan dari orang tua sangatlah penting. Erikson menyebut hal ini sebagai pembelajaran pada anak untuk memenangkan tugas yang diberikan dari guru.
Memasuki sekolah, maka  membawa anak dan orang tua kepada pengalaman baru di dalam komunitas yang luas. Sehingga membuat lingkungan sekolah sangat penting dalam membangun perilaku anak pada periode ini. Di sisi lain, orang tua juga mendapat tantangan atas pengaruh yang didapatkan oleh anaknya, seperti dari gurunya, teman-temannya. Sehingga membuat anak peduli pada isu sosial dan moral. 
Isu yang penting pada tahap ini adalah mengenai prestasi dari anak. Terdapat dua motivasi yang membuat anak mendapatkan prestasi. Pertama, keinginan anak itu sendiri seberapa kuat dia ingin mendapatkan prestasi. Kedua, identifikasi anak tersebut terhadap orang tuanya yang menjadi model terhadapnya. Misalnya, jika orang tuanya menyukai buku maka anak cenderung juga menyukai buku.
Sekolah dapat membantu mengatasi dampak dari masalah jenis kelamin dan ras yang menjadi hambatan. Contohnya, sekolah sangat mendukung kompetisi sepak bola untuk perempuan. Kemudian hal ini akan berdampak pada penerimaan perempuan sepak bola sebagai satu hal yang bisa mereka mainkan.
Evelyn Duvall menuliskan tugas perkembangan untuk orang tua dalam tahap anak sekolah sebagai sebuah kenikmatan hidup bersama anak, mondorong pertumbuhan anak, menyediakan kebutuhan spesial mereka. Pada tahap ini orang tua memiliki peran yang penting dalam perkembangan anak. Dalam periode ini kesibukan akan berkurang dibanding tahap sebelumnya. Dan anak pun tidak tumbuh secara cepat dan kebanhyak dari mereka sangat puas terhadap hubungan keluarga dan sangat menikmati aktivitas bersama keluarga.

I.5.3 Hubungan antara Orang Tua dan Anak (The Parent-Child Relation)
   Orang tua memiliki peran dalam memberikan sosialisasi terhadap anaknya. Cakupan sosialisasi yang diberikan kepada anaknya meliputi emotional support­ kasih sayang, cinta, dan asuhan. Emotional support ini merupakan cermin bagi anak bahwa orang tua memiliki kepedulian terhadap anaknya. Dari tahap ini, anak akan memiliki rasa percaya diri karena telah mendapat sesuatu yang itu membangun harga diri anak. Untuk selanjutnya, anak ini akan memiliki self esteem tinggi di dalam pergaulan.
Salah satu diantara inti dari sosialisasi di dalam keluarga, si anak pada tahap pertumbuhannya dikenalkan pada budaya familiar. Dalam hal ini bahasa merepresentasikan hal tersebut. Bahasa merupakan budaya yang diajarkan di dalam keluarga, dimana tidak hanya dalam kelurga saja bahasa itu diterapkan, tetapi ketika kelak si anak masuk ke dalam kehidupan masyarkat yang lebih kompleks, komunikasi akan sangat diperlukan.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Studi Kasus
Kasus seorang anak berusia 8 tahun yang dibawa orang tuanya menemui konselor untuk mendapatkan pertolongan. Hary adalah seorang siswa kelas 2 SD di sebuah sekolah favorit di kotanya. Hani, kakak Hary juga bersekolah di sekolah yang sama, kelas 5 SD. Orang tua mereka bersedia mengeluarkan biaya sekolah yang sangat besar demi anak-anak mereka bisa diterima dan bersekolah disana. Dengan bangganya mereka akan memberitahukan bahwa anak-anak mereka bersekolah disana ketika ada yang menanyakan hal itu. Setelah pulang sekolah, sekitar pukul 3 sore, hampir setiap hari, kecuali hari Rabu, Sabtu, dan Minggu, Hary dan Hani harus mengikuti berbagai kursus lainnya yang ditentukan oleh orang tua mereka. Menurut orang tuanya, sudah beberapa hari ini Hary ngambek tidak mau ke sekolah. Ketika ditanya orang tuanya, Hary tetap diam, tidak mau menjawab. Memang sudah sejak beberapa bulan yang lalu, semenjak sekolah Hary menerapkan program full day school, Hary terlihat sering marah-marah, mudah tersinggung, malas ke sekolah dengan berbagai alasan, dan kalau berangkat ke sekolah rasanya berat sekali. Orang tua Hary kebingungan karena tidak seperti biasanya Hary bersikap demikian. Melalui konseling, akhirnya bisa dipastikan bahwa Hary merasa tertekan karena tuntutan orang tuanya yang terlalu berlebihan. Hary harus menjadi yang terbaik dalam segala hal. Beberapa kali Hary pernah mengeluhkan hal itu kepada orang tuanya, tetapi sambil disertai dengan omelan, selalu dijawab bahwa semua tuntutan itu demi masa depannya. Karena itu akhirnya Hary memilih diam saja ketika ditanya mengapa dia tidak mau ke sekolah. Gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua Hary dalam contoh kasus tersebut disebut push parenting, yaitu gaya pengasuhan yang terlalu menuntut.

II.2 Studi Kasus dikaitkan dengan Kerangka Konseptual
Dari kasus tersebut banyak orang tua yang menerapkan push parenting merasa terpaksa menerapkan pola pengasuhan tersebut.[7] Keterpaksaan orang tua disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini.
1.      Ketakutan dan Kekuatiran yang Berlebihan
Banyak orang tua sangat takut dan kuatir kalau tidak ada usaha terus menerus untuk memacu prestasi anak-anak mereka, ketika dewasa nanti anak anak itu tidak bisa berkompetisi dan akhirnya gagal. Ketakutan dan kekuatiran itu semakin terprovokasi karena tidak ada ukuran yang pasti untuk mengukur keberhasilan orang tua dalam mengasuh anak mereka, sampai semuanya sudah berakhir nanti. Ketidaktahuan ini semakin membuat orang tua merasa tidak nyaman dan tidak mempunyai kontrol.[8] Ketidaknyaman inilah yang mendorong orang tua melakukan apa saja, bahkan menuntut anak mereka secara berlebihan untuk mengantisipasi kegagalan di depan.

2.      Kompensasi dari Ketiadaan Kesempatan di Waktu Lalu
Kesempatan yang dimiliki para orang tua di masa kecil mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kesempatan yang dimiliki anak-anak sekarang untuk terus mengembangkan diri mereka. Kita sering kali mendengar komentar para orang tua bahwa mereka berusaha mati-matian agar anak-anak mereka tidak mengalami nasib yang sama seperti mereka pada waktu dulu. Semahal apa pun pengorbanan yang harus diberikan supaya anak-anak bisa menjadi seperti yang mereka harapkan, para orang tua menganggap itu sebagai investasi yang pantas.[9] Menurut J. Drost adalah sesuatu yang tidak masuk akal kalau beranggapan bahwa anak harus mencapai sesuatu karena orang tua sendiri tidak berhasil mencapainya karena sebab apa pun juga.[10] Inilah yang disebut dengan tujuan yang tersembunyi oleh V.G. Beers.[11] Seolah-olah orang tua ingin mengalami sendiri apa yang tidak dapat dilakukannya dahulu melalui anak-anaknya.
Dengan tersedianya banyak kesempatan, pengharapan akan masa depan anak yang lebih baik adalah hal yang sangat positif dan sudah seharusnya, tetapi akan berdampak sangat negatif, apabila pengharapan itu sampai memunculkan tuntutan yang berlebihan dari diri anak.

Bila dikaitkan dengan kerangka konseptual dalam sosiologi maka, dalam konteks ini kasus tersebut dilakukan oleh orang tua dari Hary karena salah satunya disebabkan oleh pengalaman orang tua yang ingin melihat anaknya lebih memiliki suatu kesempatan yang lebih baik ketimbang pengalaman orang tuanya pada saat itu. Selain itu, jika ditelaah maka push parenting dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari authoritarian parenting, karena kecenderungan dalam push parenting adalah orang tua hanya akan mendukung keinginan anak yang sesuai dengan ambisi mereka, dan pengawasan ekstra ketat akan dilakukan orang tua selama proses pencapaian ambisi itu. Sehingga, apa yang menjadi minat anak sering kali diabaikan oleh orang tua. Walaupun begitu, harus diakui bahwa anak-anak memang masih sangat membutuhkan pengarahan dan pengawasan dari orang tua mereka. Tetapi dalam push parenting, sepertinya anak tidak diberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka, termasuk segala kompetensi yang dimiliki, yang mungkin tidak disadari oleh orang tua.

Sehingga dalam hal ini, orang tua lebih menggunakan pola autoritarian (autoritatif) dalam mendidik Hani dan Hary, sehingga orang tua lebih terlihat berperilaku menuntut (push parenting). Dalam hal ini, orang tua Hary yang dipandang mampu secara materi berusaha untuk menuntut anak-anak mereka masuk ke dalam sekolah-sekolah unggulan (favorit), padahal tanpa mereka ketahui secara kemampuan intelektual hal tersebut tidak mendukung kemampuan diri Hary. Jika dilihat lebih lanjut, biasanya hal tersebut dilakukan oleh para orang tua agar anak-anak mereka tidak terlalu sulit mendapatkan pekerjaan baik yang bisa menjamin masa depan mereka nanti. Keautoritatif tersebut, mungkin sudah dipersiapkan matang-matang oleh orang tua Hary sejak sebelum mereka menikah, selama masa-masa kehamilan, sampai melahirkan, mereka sudah melakukan persiapan panjang untuk mewujudkan angan-angan ideal mereka tentang anak yang akan dilahirkan.

Selain itu, tanpa adanya sebuah komunikasi yang terjalin di dalam kedua belah pihak, baik orang tua ataupun anak sendiri, orang tua dalam hal ini memaksakan kemauannya begitu saja. Orang tua menganggap bahwa anak harus menjadi seperti imbalan atas segala jerih payah dan investasi waktu, emosi, pikiran, dan uang yang sudah dikorbankan selama ini. Padahal dengan cara tersebut, tanpa adanya komunikasi yang terjalin dan orang tua yang secara terus menerus memaksakan kehendak mereka masing-masing, akan berakibat pada sebuah efek dimana banyak orang tua yang tidak bisa membedakan lagi antara kebutuhan mereka (orang tua itu sendiri) dengan kebutuhan anak mereka. Dalam hal ini, anak seakan selalu dituntut untuk mau tidak mau segera membuat orang tua bisa menikmati kesuksesan mereka.

      Dengan adanya push parenting, membuat masa-masa keceriaan kanak-kanak Hary menjadi terenggut. Mau tidak mau setiap harinya, Hary selalu dituntut untuk mengikuti berbagai kursus yang telah orang tuanya tentukan. Hal inilah yang berdampak pada diri Hary. Dimana ia merasa sangat tertekan, selalu mengambek hingga akhirnya ia tidak mau sekolah dan bertemu dengan teman-teman satu sekolahnya, bahkan bisa menghambat perkembangan masa pertumbuhannya, baik pola pikir, kedewasaan, dan kontrol emosi dirinya.

Jika sudah mencapai batasnya, maka diantara orang tua dan anak dibutuhkan adanya komunikasi dua arah. Orang tua dalam hal ini, setidak-tidaknya bisa menerapkan pola permissiveness, dimana cenderung bisa menerima kemauan anak. Begitu juga yang seharusnya dilakukan oleh orang tua Hary, seharusnya sebagai orang tua,  bisa mengetahui apa yang anak-anaknya sukai dan bisa memacu prestasi mereka di sekolah tanpa adanya tekanan yang dirasakan oleh anak, tentunya tetap memberikan dukungan emosi dan kontrol terhadap anak, selain itu anak yang menjalani kegiatannya, seharusnya selalu bisa terbuka pada orang tua.

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Dari uraian mengenai studi kasus tersebut, maka diketahui bahwa komunikasi diantara orang tua dan anak sangat dibutuhkan, khususnya bagi orang tua yang begitu berambisius (push parenting) terhadap prestasi anak di sekolah. Karena dengan adanya sikap push parenting yang dilakukan oleh orang tua akan memicu suatu dampak bagi anak-anak mereka, yaitu depresi. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya sikap tertekan yang dirasakan oleh anak-anak baik dalam hal berprestasi, tingkat produktif, dan mencapai kesuksesan. Selain itu dengan adanya push parenting, maka akan membuat anak terhambat dalam membentuk suatu pribadi yang mandiri. Push parenting juga memungkinkan seorang anak untuk menciptakan pribadi yang perfeksionis. Karena tuntutan berlebihan yang ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka. Norman Wright menyebut orang-orang perfeksionis sebagai orang yang sukses dalam kegagalan, karena itu tidak sedikit di antara orang-orang tersebut mempunyai hidup yang sukses, tetapi masih merasa kosong dan tidak puas. Selain itu, orang yang perfeksionis sudah pasti akan menemukan banyak kesulitan dalam pergaulan, karena mereka sulit menerima keterbatasan orang, contohnya yang dirasakan oleh Hary. Dalam pergaulannya dengan temen-temen dan lingkungannya di sekolah kurang, yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan di hari-hari sekolahnya, sehingga membuat diri Hary tidak bisa merasakan masa kanak-kanak dan keceriaannya dengan teman-teman sebaya dan lingkungan bermainnya.

III.2 Saran
Dalam hal ini, dibutuhkan adanya saran yaitu pada saat akan memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan anak, seharusnya orang tua melakukan komunikasi terlebih dahulu kepada anak-anak mereka dengan cara mengajak anak-anak mereka berunding tentang apa yang terbaik buat anak-anak mereka. Karena selama ini, sering kali para orang tua tidak mau mengajak anak-anak mereka untuk  ikut berunding, hal ini di karenakan mereka berpikir tindakan itu hanya akan menunjukkan kelemahan mereka sebagai orang tua yang seharusnya berwenang penuh atas anak. Tetapi, sebenarnya justru tidak demikian. Dengan melibatkan anak menunjukkan penghargaan dan kepedulian orang tua pada anak. Anak mempunyai hak untuk berbicara dan mengemukakan apa yang menjadi kesenangan atau pun keberatan mereka dan orang tua berkewajiban untuk mendengarkan. Anak-anak butuh didengarkan dan dimengerti, yang mengindikasikan bahwa mereka diterima. Hal ini merupakan sesuatu yang esensial sekali untuk anak dapat memiliki penghargaaan diri (self esteem) yang positif, dan menumbuhkan keterampilan untuk membuat berbagai keputusan secara bertanggung jawab ketika mereka dewasa nanti.  Orang tua perlu belajar banyak untuk menunjukkan penghargaan kepada anak-anak mereka dengan cara yang sangat sederhana, yaitu mendengarkan. Selain dengan komunikasi, dibutuhkan juga adanya bimbingan konseling yang diikuti oleh para orang tua dan anak, karena dengan cara begitu orang tua dapat lebih mengetahui kemauan anak dan anak dapat selalu terbuka tentang apa yang ia inginkan dan dapat memacu prestasi serta pola pikirnya.

DAFTAR PUSTAKA


Ihromi, T.O. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta
Salim. Agus. Eds. II. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana: Jakarta.
Kendall. Diana. 2009. Sociology in Our Times. Edisi Ketujuh. Thomson Wadsworth: USA
Qanita. 2003. Anak Sempurna atau Anak Bahagia?: Dilema Orang Tua Modern. Bandung
Kompas. 2000. Anak Anda Takut Gagal? Keluarga Kunci Sukses Anak. Jakarta
Kalam Hidup. 1997. Orang tua, Berbicaralah dengan Anak Anda!. Bandung
Ubaydillah. 2007.  Berapakah Harga Diri Anda?. Jakarta
http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=429. Diakses pada 3 April 2010. pukul 09:53 WIB



[1] Anak Sempurna atau Anak Bahagia?: Dilema Orang Tua Modern (Bandung: Qanita, 2003) 20-21.

[2] Menurut Jack dan Judith Balswick, berdasarkan pendekatan socioemotional dikenal empat gaya pengasuhan anak, yaitu (1) neglectful parenting, gaya pengasuhan yang lemah dalam dukungan maupun pengawasan; (2) permissive parenting, gaya pengasuhan yang lemah dalam pengawasan tetapi kuat dalam dukungan; (3) authoritarian parenting, gaya pengasuhan yang lemah dalam dukungan, tetapi kuat dalam pengawasan; (4) authoritative parenting, gaya pengasuhan yang mengkombinasikan kualitas terbaik dari permissive dan authoritarian style (Jack O. Balswick dan Judith K. Balswick, The Family: A Christian Perspective on the Contemporary Home [Grand Rapids: Baker, 1989] 98-101). Menurut penulis, push parenting dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari authoritarian parenting, karena kecenderungan dalam push parenting adalah orang tua hanya akan mendukung keinginan anak yang sesuai dengan ambisi mereka, dan pengawasan ekstra ketat akan dilakukan orang tua selama proses pencapaian ambisi itu. Apa yang menjadi minat anak sering kali diabaikan oleh orang tua. Harus diakui anak-anak memang masih sangat membutuhkan pengarahan dan pengawasan dari orang tua mereka. Tetapi dalam push parenting sepertinya anak tidak diberikan kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka, termasuk segala kompetensi yang dimiliki, yang mungkin tidak disadari oleh orang tua.

[3]Guthrie dan Matthews, Anak Sempurna 25.

[4] Agus Salim  (Eds. II). Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana:Jakarta.
[5] Self-esteem atau self worth, diartikan sebagai harga diri (how you feel about yourself). Kata "bagaimana" di situ mengarah pada adanya kualifikasi rendah dan tinggi atau positif dan negatif (low and high self-esteem). Diakses dari: http://www.e-psikologi.com/epsi/individual_detail.asp?id=429. Ubaydillah. Berapakah Harga Diri Anda?. Jakarta, 22 Juni 2007. Diakses pada 3 April 2010, pukul 09:53 WIB.
[6] Diana Kendall. 2009. Sociology in Our Times. Edisi Ketujuh. USA: Thomson Wadsworth. hlm 112.
[7] Ibid. 33.
[8] Ibid. 70.

[9] Ibid. 24.

[10] Anak Anda Takut Gagal? dalam Keluarga Kunci Sukses Anak (Jakarta: Kompas, 2000) 118.

[11] Orang tua, Berbicaralah dengan Anak Anda! (Bandung: Kalam Hidup, 1997) 41-42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar