Kamis, 30 Desember 2010

Modal Sosial

Definisi dan Teori Modal Sosial
Modal Sosial merupakan suatu sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti yang kita ketahui bahwa sesuatu yang disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Dalam hal ini, modal sosial berbeda definisi dengan modal manusia (human capital).[1]
Robert D Putnam (2000) dalam hal ini, memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki kebijakan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang rendah. Ini terkait dengan teorinya mengenai bonding, bridging, dan linking.[2]
Fukuyama (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai seperangkat nilai-nilai informal yang instan atau norma-norma yang diyakini bersama di antara anggota kelompok yang memungkinkan mereka untuk bekerja sama satu sama lain. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi dimana para anggotanya secara sukarela menyerahkan sebagian hak-hak individunya untuk bekerja bersama-sama mecapai suatu tujuan, berdasarkan aturan-aturan yang disepakati. Kesepakatan tersebut menyebabkan setiap orang melaksanakan kewajibannya masing-masing secara bebas tanpa perlu diawasi, karena satu sama lain menaruh kepercayaan bahwa setiap orang akan melaksanakan kewajibannya. Itulah yang disebut saling percaya (mutual trust), karena setiap orang berusaha untuk mengemban amanah.
Randall Collin (1981) mempunyai pemikiran tersendiri mengenai modal sosial. Bagi Collin, modal sosial secara tidak langsung melakukan kajian tentang apa yang dia sebut sebagai fenomena mikro dan interaksi sosial yaitu norma dan jaringan (the norms and networks) yang sangat berpengaruh pada kehidupan organisasi sosial. Norma yang terbentuk dan berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan-aturan tersendiri dalam suatu masyarakat. Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat dalam setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan berbagai urusan sosial lebih efisien. Ketika norma ini menjadi norma asosiasi atau norma kelompok, akan sangat banyak manfaatnya dan menguntungkan kehidupan institusi sosial tersebut. Kekuatan-kekuatan sosial dalam melakukan interaksi antar kelompok akan terbentuk. Pada akhirnya mempermudah upaya mencapai kemajuan bersama.
Studi Kasus :
Pemberdayaan Masyarakat Untuk Usaha Kecil dan Mikro (Pengalaman Empiris di Wilayah Surakarta, Jawa Tengah)[3]
Sejarah telah menunjukkan bahwa usaha kecil dan mikro (UKM) di Indonesia tetap eksis dan berkembang dengan adanya krisis ekonomi yang telah melanda negeri ini sejak tahun 1997, bahkan menjadi katup penyelamat bagi pemulihan ekonomi bangsa karena kemampuannya memberikan sumbangan yang cukup signifikan pada PDB maupun penyerapan tenaga kerja.
Kecenderungan kemampuan UKM memberikan sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan perekonomian suatu negara sehingga mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menetapkan tahun 2004 sebagai tahun International microfinance. Sejalan dengan program PBB tersebut, pemerintah Indonesia juga telah menetapkan tahun 2005 sebagai “Tahun UMKM Indonesia”.
Dalam pemberdayaan masyarakat ini, mencoba untuk menjelaskan mengenai berbagai dinamika keterlibatan dan hubungan peran antar stakeholder UKM, pemberdayaan masyarakat untuk UKM dan beberapa pengalaman empiris.
Terdapat banyak stakeholder yang harus terlibat dalam pemberdayaan masyarakat untuk UKM, antara lain dapat dilakukan langkah-langkah dengan melalui kegiatan:
(1) Identifikasi Potensi,
(2) Analisis Kebutuhan,
(3) Rencana Kerja Bersama,
(4) Pelaksanaan,
(5) Monitoring dan Evaluasi.
Dari dua pengalaman empiris dapat ditarik pengalaman bahwa kerjasama antar stakeholder UKM akan menghasilkan kinerja yang lebih baik untuk pengembangan UKM. Untuk itu, maka program-program yang menyangkut pengembangan UKM baik yang bersifat technical asistant (TA) maupun yang non TA harus diupayakan adanya koordinasi antar stakeholder agar optimal hasilnya. Implementasi kebijakan dalam rangka strategi pemberdayaan masyarakat untuk mengembangkan UKM tidak bisa secara parsial hanya berada pada bidang ekonomi permodalan saja, namun harus berorientasi secara keseluruhan atas kebutuhan UKM baik secara individu maupun kelompok, termasuk berdasarkan pada potensi sumber daya manusianya. Dengan melibatkan secara partisipatif dan lebih bersifat bottom up ternyata pemberdayaan diri UKM telah berhasil dan pada gilirannya secara integral mampu memberikan dampak bagi perkembangan perekonomian yang lebih luas.

Keterkaitan Teori Modal Sosial dengan Pemberdayaan Masyarakat untuk UKM
            Jika melihat dari teori modal sosial, dapat dikatakan bahwa dengan terbentuknya pemberdayaan masyarakat dalam UKM cukup menjadi sebuah kegiatan yang mampu untuk memberdayakan masyarakatnya, baik itu dengan terbukanya lapangan pekerjaan maupun membantu kestabilan perekonomian di Indonesia. UKM dalam hal ini dianggap sebagai sebuah usaha positif yang tidak hanya memiliki peranan dalam pembangunan perekonomian nasional, tetapi juga mampu dalam hal meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta penyerapan tenaga kerja dalam suatu pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Seperti yang kita ketahui bahwa sejak munculnya krisis ekonomi yang terjadi di negara kita di beberapa tahun yang lalu, banyak sekali dari perusahaan yang dianggap sebagai usaha berskala besar mulai memberhentikan aktifitasnya. Baik itu dengan cara mengurangi tenaga kerja di pasar kerja, maupun secara besar-besaran mengalami kerugiaan dalam penanaman saham dana investasi dengan perusahaan lain. Tetapi UKM yang hanya dianggap sebagai sebuah usaha kecil dan menengah mampu secara tangguh menghadapi berbagai permasalahan di negara Indonesia.
            Padahal apabila kita ketahui lebih mendalam, UKM yang sering dianggap sebagai usaha yang hanya mampu menghasilkan produksinya dalam skala kecil dan dianggap tidak mampu bersaing dengan unit usaha lainnya, ternyata semenjak terjadinya krisis ekonomi Indonesia, banyak sekali dari berbagai usaha, khususnya usaha pada sektor swasta yang memfokuskan pengembangannya pada sektor usaha kecil dan menengah (UKM).
            Bila memfokuskan pada teori modal sosial Putnam ataupun Fukuyama maka dalam UKM terdapat suatu konsep-konsep yang dapat dikaitkan dalam memecahkan permasalahan di Indonesia. Seperti terlihat bahwa UKM memiliki suatu jaringan yang mampu untuk berkontribusi dengan berbagai sektor swasta yang mulai memberhentikan aktifitasnya. Jaringan tersebut dapat terbentuk karena adanya suatu trust yang terbentuk antar anggota di dalamnya. Trust itulah yang secara lambat laun kembali membangkitkan berbagai sektor swasta untuk bisa menjalankan usahanya dalam skala besar. Selain adanya suatu jaringan untuk membentuk identitas bersama, UKM juga disini mempunyai sebuah jaringan yang dalam pembentukkan tidak hanya berdasarkan latar belakang suatu masalah tetapi karena pada dasarnya UKM dibentuk untuk mampu bersaing dengan berbagai unit usaha lainnya, baik atau pun sebelum munculnya krisis ekonomi di Indonesia. UKM inilah yang mampu untuk membuka sebuah lapangan pekerjaan, bagi para pekerjanya, baik itu bagi mereka para pekerja yang terdidik maupun yang tidak terdidik. Secara tidak langsung UKM berusaha untuk mengurangi jumlah pengangguran yang semakin tahunnya semakin meningkat, serta mencegah semakin tingginya tingkat kemiskinan yang dirasakan oleh Indonesia. Sehingga dapat dikatakan terbentuknya UKM didasarkan pada adanya hubungan yang terjalin antar komunitas masyarakatnya dengan para agen eksternal yang berada dalam jaringan tersebut, contohnya saja seperti munculnya UKM di Wilayah Surakarta, Jawa Tengah.
            Bagi UKM, ada suatu prinsip yang mendasar untuk terus melakukan pemberdayaan terhadap masyarakatnya. Yaitu adanya suatu prinsip bahwa pemberdayaan masayarakat akan terus tercipta apabila hal tersebut muncul atas dasar dari, oleh, dan untuk masyarakatnya sendiri. Hal tersebut terbangun atas pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevasi pengetahuan tradisional masyarakatnya yang dianggap masih cukup kental  dalam memecahkan masalah-masalahnya tersendiri, seperti pengangguran maupun dalam hal memenuhi perekonomian untuk mencegah makin meningkatnya kemiskinan di Indonesia.
            Disini juga apabila kita melihatnya, maka merujuk pada teori Collin, UKM dalam pembentukkannya selalu difasilitasi oleh adanya suatu  norma bersama yang disepakati oleh berbagai masyarakat yang bergerak di dalamnya. Hal ini jugalah yang memperlihatkan bahwa terbentuknya UKM tidak terlepas dari adanya keterlibatan stakeholder untuk menentukan keberhasilannya dalam mengatasi permasalahan perekonomian di Indonesia. Karena UKM dianggap sebagai aktor/pelaku dalam memegang suatu peranan yang sangat penting dalam memberdayakan masyarakatnya. Sehingga dalam hal ini, seperti yang telah saya sebutkan diatas, UKM memiliki suatu jaringan, yang dalam pemberdayaannya dibutuhkan adanya suatu partisipasi dari berbagai pihak di luar UKM baik itu individu-individu maupun kelompok dari masyarakat yang berada pada unit sektor lain untuk terus berpartisipasi dalam keberhasilan suatu usaha, misalnya dalam pemenuhan kebutuhan.
Sektor lain tersebut dapat berupa kerjasama dengan koperasi atau unit lain di luar koperasi. Adanya kerjasama diantara UKM dan koperasi secara tidak langsung memberikan solusi bagi setiap permasalahan yang sering muncul di dalam usaha, apalagi UKM masih dianggap sebagai sebuah usaha kecil dan menengah, yang masih harus membutuhkan suatu penopang untuk terus bertahan dalam mencapai tujuannya. Apalagi seperti yang kita ketahui bahwa seperti UKM yang begerak di sektor kecil dan menengah tentunya selalu mengalami permasalahan dalam hal modal. Hal inilah yang akan memudahkan bagi UKM apabila ia menjalin kerjasama dengan sektor lain, seperti koperasi. Apalagi UKM yang terbentuk adalah UKM yang berada di desa-desa. Dengan melakukan kerjasama dengan koperasi itulah, diharapkan adanya suatu kekuatan jaringan dalam harga tawar pasar, baik itu dalam hal bahan-bahan baku, proses memproduksi barang yang dikerjakan oleh para pekerja UKM, maupun dalam hal pemasaran hasil produksi UKM.
Dari berbagai kerjasama dan cara kerja UKM akan menciptakan suatu asaosiasi usaha bagi anggotanya untuk terus memperkuat posisi tawar dalam pasar, baik dalam penetapan harga produksi dalam pasar maupun persaingan usaha dengan berbagai sektor usaha yang lebih besar. Seperti yang telah disebutkan diatas, masalah yang sering muncul dalam UKM adalah masalah modal. Yang terkadang melakukan kerjasama dengan koperasi pun dianggap kurang efektif dalam hal peminjaman modal bagi usahanya. Hal inilah yang mensinegikan UKM untuk melakukan kersama dengan Bank atau non Bank untuk bisa memperoleh dana dari pemerintah dalam bentuk kredit.
Seperti yang kita ketahui, bahwa UKM hanyalah sebuah usaha kecil yang berada di setor informal, dan ekbanyakan anggota (pekerjanya) adalah para ibu-ibu rumah tangga yang memiliki suatu keterampilan khusus dalam bidangnya. Hal ini tidak mengherankan apabila dalam memproduksi hasil UKM pun terkadang hanya di pasarkan di dalam pasar domestik, tetapi akan lebih menguntungkan apabila hasil produksi tersebut dapat mencapai pasar ekspor sesuai dengan permintaan dari pasar Mancanegara. Karena seperti yang diketahui bahwa adanya suatu hubungan yang terjalin antar pembeli maupun eksportir sangat menentukan pemasaran hasil produksi. Apalagi disaat terjadi perubahan kondisi pasar yang begitu cepat, dimana banyak pesaing-pesaing dalam memproduksi pasar. Hal inilah yang dibutuhkan adanya suatu fasilitas yang bersal dari pemerintah Indonesia, LSM, maupun asosiasi usaha.
            Maka dengan berbagai hubungan antara peran-peran stakeholder UKM tersebut diharapkan UKM dapat memberikan suatu kontribusi yang positif terhadap berbagai upaya penanggulangan masalah-masalah yang sering kali muncul di Indonesia. Hal ini tidak hanya terkait pada penanggulangan masalah tingginya tingkat kemiskinan, atau besarnya jumlah pengagguran, tetapi terhadap ketimpangan distribusi pendapatan dan proses pembangunan yang tidak merata di berbagai daerah di Indonesia, seperti perkotaan dan pedesaan misalnya.    
            Apabila dilihat dari kelebihan pemberdayaan masyarakat melalui UKM, maka UKM dalam hal ini dapat dikatakan sebagai usaha sektor kecil dan menengah yang mampu bertahan di masa krisis ekonomi yang hingga saat ini belum dapat ditanggulangi. Hal tersebut didukung oleh 4 hal, yaitu: [4]
1.      Sebagian besar UKM telah mampu menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya terhadap barang yang tidak tahan lama dalam penggunaannya atau kualitasnya
2.      Mayoritas UKM lebih mengandalkan pada non-banking financing, dalam hal pendanaan usaha, atau modal usaha
3.      Pada umumnya UKM melakukan spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja
4.      Terbentuknya UKM baru sebagai akibat dari abnyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal
Selain kelebihan, dalam pemberdayaan masyarakat UKM ini tentunya memiliki suatu kekurangan dalam hal faktor internal, yaitu kurangnya permodalan dan terbatasnya akses pembiayaan. Hal ini diakibatkan karena pada umumnya usaha kecil dan menengah seperti UKM merupakan usaha perorangan yang memiliki sifat tertutup, dimana dalam mendapatkan modalnya lebih mengandalkan pada pemilik yang terbatas jumlahnya. Sedangkan untuk mendapatkan modal dari bank atau lembaga keuangan lainnya begitu sulit untuk didapatkan, karena sulitnya dalam hal administrasi dan teknis yang sering akli sulit untuk terpenuhi oleh usaha kecil dan menengah seperti UKM. Selain kurangnya modal, hal ini juga dapat disebabkan oleh kualitas SDM. Dimana kualitas SDM tersebut dipengaruhi oleh pendidikan maupun pengetahuan serta keterampilan yang akan sangat mempengaruhi manajemen pengelolaan usaha produksi di tingkat pasar domestik maupun ekspor. Selanjutnya lemahnya jaraingan usaha dan kemampuan penetrasi pasar, hal ini dapat disebabkan oleh semakin majunya teknologi yang apabila UKM bersaing dengan sektor usaha yang besar akan kalah bersaing di tingkat pasar. Selanjutnya dalam faktor eksternal, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh terbatasnya sarana dan prasarana usaha, terbatasnya akses pasar, dan terbatasnya akses informasi.
Oleh karena itu dibutuhkan adanya suatu antuan permodalan serta perkembangan kemitraan yang dapat dilakukan oleh pemerintah sebagai pusat utama untuk memajukan usaha kecil dan mengeah seperti UKM tersebut, sehingga UKM tidak hanya dapat terus bertahan dalam masalah perekonomian saja, tetapi dapat terus bersaing di pasar domestik maupun ekspor dengan usaha besar lainnya.  


[1] Modal manusia (human capital) segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebijakan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial.
[2] Bonding merujuk pada jaringan yang dibentuk melalui identitas bersama. Bridging lebih merujuk pada jaringan asosiasi. Hubungan yang dilakukan tidak berdasarkan pada latar belakang. Tetapi berdasarkan pada interaksi yang dilakukan demi terjadinya aktivitas kolektif yang memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang ada, hal itu tidak dapat dicapai sendiri, serta tidak pula didapatkan melalui jaringan yang terbentuk di dalam kelompok, dan Linking lebih menunjuk pada hubungan pertukaran, yang dilakukan oleh dua kelompok, yang bukan hanya berbeda dalam jenisnya tetapi juga berada pada posisi yang berbeda dalam jangkauan kuasa dan akses terhadap sumber daya. Konsep linking pada modal sosial menjelaskan jaringan serta hubungan yang lebih bersifat institusional dengan unequal agents. Secara sederhana, hubungan tersebut dapat dilihat pada hubungan yang tercipta antara suatu komunitas dengan agen eksternalnya.

[3] Diakses dari http://digilib.uns.ac.id/upload/dokumen/16261012200510131.pdf, pada tanggal 24 Desember 2010, pukul 20.01 WIB.
[4] Diakses dari http://yudhislibra.wordpress.com/2010/11/22/64/, pada tanggal 24 Desember 210, pukul 21.05 WIB.

Selasa, 28 Desember 2010

ADAT dan AGAMA

Dalam penjelasan di dalam sosiologi agama, Durkheim, Weber, dan Simmel disini berusaha untuk menjelaskan mengenai definisi agama menurut pandangan mereka. Menurut Durkheim agama secara tidak langsung terbentuk dari adanya suatu kolektivitas, sedangkan Weber dalam Protestan Ethic memberikan pandangannya mengenai agama bahwa agama akan memberikan suatu motivasi bagi pemeluknya untuk dapat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dan Simmel mengatakan bahwa agama akan memberikan ruang bagi aktualisasi individu dan dapat menenangkan atau memantapkan suasana hatinya. Disini apabila kita melihat dari pandangan perspektif sosiologi agama, agama menurut pandangan fungsionalisme dapat dilihat sebagai sebuah fungsi. Maksudnya, agama dapat dilihat sebagai sebuah institusi lain yang memegang peranan atau fungsi agar masyarakat dapat memainkan perannya dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional, maupun mondial.[1] Sedangkan apabila melihat fungsi dari agama itu sendiri, agama memiliki empat fungsi penting, yaitu fungsi edukatif, fungsi penyelamatan, fungsi pengawasan sosial (social control), dan fungsi profetis atau kritis.[2]  Dengan begitu, agama dapat dikatakan memiliki keterkaitan yang begitu erat di dalam kehidupan masyarakat dan dalam hal ini juga, secara tidak langsung agama memiliki kaitan yang erat dengan adat yang diberlakukan di suatu wilayah. Seperti penjelasan mengenai adat dibawah ini.
Adat dalam pengertian epistemologis dapat didefinisikan sebagai sebuah kebiasaan. Dimana pengertian dari adat itu sendiri merupakan suatu sikap atau tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan norma yang berasal dari leluhur dan diwariskan secara turun-temurun kepada anak-cucunya. Sehingga dalam peranannya membuat adat mempunyai kedudukan dan status sebagai sesuatu yang mengikat, yang tidak dapat terelakkan, baik di dalam suatu golongan tertentu, maupun pada perorangan di dalam golongan tersebut.[3] Secara sosiologis adat dirumuskan sebagai suatu kebiasaan yang mengatur segenap kehidupan masyarakatnya dalam setiap hubungannya dengan sesama manusia lain.
Dari penjelasan mengenai agama dan adat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa adat dan agama memiliki suatu persamaan mendasar. Yaitu  adat dan agama  memiliki sifat sosial, yang berfungsi untuk mengatur masyarakat dan bersifat mengikat. Dari keterkaitan dan persamaan itulah maka agama dan adat saling berkesinambungan satu sama lain. Serta dari penjelasan itu pun, disini saya akan mencoba menguraikan dan menghubungkan mengenai keterkaitan adat dan agama yang dimiliki oleh Indonesia. Dimana seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara beragama dan memiliki beragam adat istiadat serta kebudayaan. Ini terbukti dari salah satu bentuk adat di Minangkabau. Minangkabau yang merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia ternyata memiliki suatu keunikan adat. Keunikan adat tersebut dapat terlihat dari berbagai kawasan Minangkabau yang merupakan sebuah kawasan budaya, dimana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Minangkabau juga merupakan salah satu suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, serta aspek kehidupan masyarakatnya. 
Dalam mengkaji mengenai adat Minangkabau, terdapat dua sumber yang dapat menjelaskan mengenai Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Tetapi disini saya akan mengambil penjelasan mengenai sumber dari tambo. Dalam penjelasannya, tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerangkan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau sendiri, tambo mempunyai arti yang sangat penting, hal ini dikarenakan di dalam tambo terdapat dua hal, yaitu tambo alam, yang merupakan suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung, dan tambo adat, yang merupakan uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal (garis keturunan ibu)[4] yang dikembangkan di dalam tradisi adat Minang.
Selain itu, dalam artikel pertama yang berjudul “Pernikahan Adat Minangkabau (Tanah Datar-Lintau, Desa Lubuak Jantan)” disini diceritakan bahwa dalam tradisi adat pernikahan yang dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau yang tinggal di Tanah Datar-Latau, Desa Lubuak Jantan, sangat menjunjung tinggi adanya nuansa syariat Islam dan kaya akan filosofi yang begitu kuat membungkus tradisi adat Minangkabau ini. Ini terlihat dari beberapa kutipan beikut ini: “berbagai warna-warni pakaian serta ornamen yang digunakan dalam sejumlah untaian (setajuak) janur, sampai pakaian dan makanannya  yang sarat akan makna islami.” Hal yang paling menarik dibahas dalam artikel ini adalah bahwa dalam adat pernikahan ini terdapat acara manyambuik marapulai, yaitu profesi adat yang dilaksanakan ketika mempelai pria (marapulai) datang dari masjid setelah melakukan akad nikah. Hal tersebut menjadi suatu kebiasaan masyarakat Lubuak Jantan yang melangsungkan pernikahan setelah shalat Jum’at. Selain itu, ketika akad berlangsung pun mempelai wanita (anak daro) tidak mendampingi mempelai pria, melainkan menunggu di kediaman anak daro, dari sini terlihat adanya suatu sistem matrilineal (garis keturunan ibu) yang dipergunakan.  
Dari penjelasan sedikit mengenai “Pernikahan Adat Minangkabau (Tanah Datar-Lintau, Desa Lubuak Jantan)” terlihat bahwa di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terdapat suatu adat yang mengatur interaksi dan hubungan antar sesama anggota masyarakat Minang, seperti adanya hubungan formal di dalam pelaksanaan akad nikah yang dilakukan. Adanya hubungan formal di dalam akad pernikahan adat Minangkabau juga dapat terlihat berdasarkan kutipan berikut ini: “adanya sebuah prosesi adat membasuh kaki sebelum marapulai bersanding dengan anak daro di pelaminan, dimana mintuo marapulai membersihkan kaki marapulai dengan air hingga tidak ada kotoran sedikit pun yang melekat, sebagai perlambang membersihkan kotoran (dosa) masa lalu.  Yang lalu  diikuti oleh marapulai yang mulai berjalan diatas kain putih dalam keadaan bersih tidak berbekas, yang menandakan bahwa marapulai mendatangi anak daro dalam keadaan suci.” Setelah melakukan tradisi tersebut barulah kedua mempelai diizinkan bersanding dengan bersimpuh di lantai, tidak seperti pernikahan pada umumnya yang menggunakan kursi pelaminan. Dari berbagai tradisi pernikahan yang dilakukan dalam adat Minangkabau tersebut memperlihatkan bahwa adat Minangkabau dan agama Islam saling berimplikasi untuk menciptakan adanya suatu keteraturan nilai dan norma dalam masyarakat Minang.
Dari berbagai kutipan diatas juga terlihat bahwa dalam tradisi pernikahan adat Minangkabau terdapat dua hukum yang dipergunakan, yaitu hukum agama dan hukum adat. Seperti yang diketahui bahwa hukum agama terlihat dari adanya prosesi pernikahan yang dilakukan oleh mempelai wanita dan mempelai lelaki, dimana disetiap proses-proses yang dilakukan menjunjung tinggi unsur agama Islam di dalamnya. Sedangkan hukum adat dapat terlihat dari berbagai tradisi pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai, disetiap prosesnya selalu sarat akan norma dan nilai-nilai yang terdapat pada adat Minangkabau. Sehingga, secara jelas kedua hukum tersebut merupakan hasil kesinambungan antara agama dengan adat dan sama-sama menjadi landasan kehidupan masyarakat Minangkabau.
Sementara pada artikel kedua, yang berjudul “Peraturan Adat Minangkabau dalam Pemberian Gelar ” dijelaskan bahwa pada ukuran dewasa, seorang laki-laki dalam pemberian gelarnya ditentukan apabila ia telah berumah tangga. Pernyataan tersebut dipertegas berdasarkan kutipan berikut ini: “untuk setiap pemuda Minang, pada hari perkawinannya ia harus diberi gelar pusaka kaumnya. Menurut kebiasaan dikampung-kampung dulu, bagi seorang laki-laki yang telah beristeri rasanya kurang dihargai, kalau ia oleh fihak keluarga isterinya dipanggil dengan menyebut nama kecilnya saja.” Adanya peraturan adat Minangkabau dalam pemberian gelar ini menunjukkan bahwa ada suatu hubungan yang tidak dapat terpisahkan di dalam diri individu dengan masyarakatnya sendiri. Misalnya saja seperti adanya suatu pendekatan filosofis dan struktural di dalamnya. Pendekatan filosofis tersebut dapat tertuang dalam pepatah adat, yang biasanya diungkapkan dalam bentuk bunyi pepatah-petitih Minangkabau. Seperti kutipan pepatah petitih berikut ini: “Indak basuluah batang pisang, Basuluah bulan jo matoari, Bagalanggang mato rang banyak”. Pepatah-petitih tersebut biasanya dilakukan pada saat sambah manyambah dalam acara manjapuik marapilai dan diresmikan setelah acara akad nikah. Dalam hal ini, pepatah adat selain sebagai sebuah instrument dalam pendekatan filosofis, dapat pula berperan dalam mensimbolisasikan kesatuan dan kontinuitas masyarakat Minang dari waktu ke waktu, yaitu sebagai suatu kearifan lokal, pepatah adat menjadi suatu pegangan dalam mencapai keselarasan (social harmony) dan dalam mencapai masyarakat yang ideal.
Dari berbagai keberagaman adat dan agama di Indonesia tersebut, memberikan suatu pandangan bahwa agama dan adat memiliki suatu hubungan yang dapat mensinergikan kehidupan masyarakatnya, seperti yang telah saya uraikan diatas. Dalam hal ini juga, adat seakan hadir di dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan untuk mengatur hubungan mereka dengan kelompoknya sesama manusia yang hubungan tersebut bersifat horizontal. Sedangkan agama masuk dan diterima oleh masyarakat dalam rangka menciptakan hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta walaupun pada dasarnya agama juga dapat mengarahkan manusia untuk dapat menciptakan hubungan horizontal yang harmonis antar manusia.
Apabila membandingkan antara adat dan agama di Minangkabau dengan adat dan agama di Bali maka dapat terlihat adanya persamaan serta perbedaan yang mendasar. Ini terbukti dari hasil analisa saya mengenai adat dan agama yang berada di Bali. Dimana pada ajaran adat Bali dilandasi oleh adanya ajaran agama Hindu. Dalam adat Bali juga terlihat jelas adanya perwujudan ajaran Tri-Hita-Karana, yang merupakan konsepsi keseimbangan triangulasi antara Tuhan, Manusia, dan Alam[5] yang merupakan inti dari ajaran adat Bali itu sendiri. Selain itu, terlihat bahwa di dalam keterkaitan antara agama dan adat terlihat bahwa di dalam kehidupannya masyarakat Bali percaya akan adanya satu Tuhan, yang dijelaskan dalam konsep Trimurti, Yang Esa, bukan nenek moyang. Di dalam penjelasannya, Trimurti mempunyai tiga wujud atau manifestasi, yaitu wujud Brahmana, berarti yang menciptakan, Wujud Wisnu berarti yang melindungi serta memelihara, dan wujud Siwa berarti yang melebur segala yang ada. Dari ajaran itulah, peranan agama Hindu dengan adat saling mengimplikasi kehidupan masyarakatnya untuk membentuk suatu keteraturan hidup. Sedangkan pada adat Minangkabau sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam. Hal ini disebabkan karena peran agama Islam dalam masyarakat Minang dianggap dapat menyempurnakan adat masyarakat yang hidup di tanah Minang. Dari itulah masyarakat dalam aspek kehidupannya lebih mengutamakan nilai-nilai keislaman. Tetapi yang paling mendasar adalah pada hakikatnya, baik itu dalam adat masyarakat Minangkabau maupun adat masyarakat Bali dapat dikatakan tidak jauh berbeda antar keduanya. Ini terlihat dari adat keduanya yang sama-sama menjunjung tinggi fungsi dan peran agama serta adat dalam sistem sosial di masyarakatnya. 



[1] Drs. D. Hendropuspito, O.C. Sosiologi Agama. 1983. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm 29.
[2] Fungsi edukatif: agama sebagai sarana edukasi dan bimbingan, Fungsi penyelamatan: berhubungan dengan dunia sesudah kematian (outer-worldly), Fungsi pengawasan sosial: agama (sebagai institusi) ikut bertanggung jawab atas norma-norma susila dalam masyarakat, Fungsi profetis dan kritis: fungsi agama dalam menjunjung keadilan di masyarakat.
[3] Lothar Schreiner. Adat dan Injil; Perjumpaan Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak. 2003. Jakarta: Gunung Mulia. hlm 18.
[4] Pembahasan oleh Umar Junus, mengenai Kebudayaan Minangkabau tentang sistem kekerabatan
[5] Pembahasan oleh I Gusti Ngurah Bagus, mengenai Kebudayaan Bali tentang agama

Minggu, 12 Desember 2010

Koperasi pertanian Jepang (Nokyo) berdasarkan UU Koperasi Pertanian 1947 dengan Koperasi Unit Desa (KUD) Indonesia berdasarkan Inpres 4/1984 dan menggunakan model New Institutionalism in Economic Sociology

Bila mengacu pada model New Institutionalism in Economic Sociology, yaitu sebagai model yang lebih menekankan pada pembangunan etika pembentukan koperasi. Maka bersumber pada pemikiran Nee (2005), berdasarkan pada pendekatan yang  dikemukakan oleh Granovetter mengenai ketertambatan (embeddedness) jaringan sosial, norma, dan kepercayaan dalam struktur sosial untuk merevitalisasikan logika studi sosiologi ekonomi. Lebih jauh, Granovetter disini berpendapat bahwa ada suatu ikatan interpersonal yang diyakini untuk memainkan peranan penting dalam pasar maupun perusahaan.[1]

Sehingga disini dapat dijelaskan bahwa koperasi pertanian Jepang (Nokyo) berdasarkan UU Koperasi Pertanian 1947 merupakan sebuah koperasi pertanian yang dibentuk atas dasar  undang-undang pertanian, dengan tujuan bahwa dengan adanya undang-undang tersebut maka dapat mendorong sistem pembangunan organisasi koperasi pertanian dengan cara meningkatkan berbagai kekuatan-kekuatan produktif pertanian. Selain itu juga, Nokyo mampu bertujuan untuk memperbaiki berbagai status sosial ekonomi masyarakat petani Jepang dalam membantu dan memperbaiki pembangunan ekonomi bangsa secara keseluruhan.  

Dalam pembangunannya, Nokyo memiliki peranan yang sangat penting dalam gerakan koperasi Jepang. Misalnya saja dalam pembentukan Buraku sebagai sebuah organisasi di pedesaan Jepang yang dianggap sebagai sebuah unit sosial dan ekonomi yang memiliki peranan yang sangat penting di dalam memproduksi pertanian dan rumah tangga petani. Buraku pun dalam hal ini, telah dibentuk dalam jangka waktu ratus tahun yang lalu dibawah sistem feodal (Morita 1960, Kurata 1989). Sedangkan dalam institusionalisasinya, Buraku berusaha untuk menjadi Bunokai atau jikko han di dalam struktur Nokyo. Sehingga oleh Nokyo, Buroku diubah menjadi kyoroku soshiki, yang beranggotakan seluruh petani yang tinggal di wilayah yang sama tetapi memiliki komoditi yang berbeda, dan memiliki sistem kegotongroyongan yang berada di dalam area yang sama.

Lain halnya dengan Koperasi Unit Desa (KUD). Menurut Inpres 4/1984, KUD  merupakan suatu bentuk koperasi yang dibentuk oleh warga desa dari desa atau dalam desa-desa yang merupakan bagian dari satu kesatuan masyarakat terkecil dari unit desa. Dalam KUD pun, yang berkualifikasi untuk masuk ke dalam bisnis koperasi tidak hanya petani tetapi siapa pun yang berada di dalam desa maupun unit tersebut dapat ikut serta dalam keanggotaan koperasi. Selain itu, economic productive resource dalam koperasi di Indonesia lebih diperhatikan dibandingkan sumber-sumber non-ekonomi produktif, seperti gotong royong, dan sistem kerjanya. Dalam hal ekspor barang KUD pun tidak membutuhkan adanya hirarki konsumsi untuk mencapai tingkat nasional.

Dari definisi mengenai Nokyo maupun KUD diatas apabila mengacu  pada pemikiran Nee yang bersumber dari pemikiran Granovetter,  disini dapat dijelaskan bahwa dalam model New Institutionalism in Economic Sociology dalam Nokyo terjadi suatu mekanisme integrasi hubungan formal maupun informal pada level tataran mikro, yaitu individu penduduk petani Jepang, meso (kelompok ataupun organisasi Buraku) serta tataran makro yang berupa lingkungan kebijakan (policy environment, yaitu Nogyo Hojin). Mengingat bahwa Nokyo, yang berupa koperasi pertanian Jepang merupakan koperasi yang anggotanya haruslah seluruh petani yang tinggal di wilayah yang sama tetapi memiliki komoditi yang berbeda, dan memiliki sistem kegotongroyongan yang berada di dalam area yang sama, tentunya mereka memiliki kepentingan yang sama untuk bersama-sama mengolah area pertanian di Jepang. Hal itulah yang tergambar dari 4 tipe keanggotaan koperasi primer di desa Jepang,[2] yaitu Kyoryoku soshiki (cooperating organizations) penduduk Jepang yang bertempat tinggal di daerah tersebut, selanjutnya Jishu Katsudo soshiki (autonomous organizations) para pemuda, dan wanita, Kanren soshiki (contact organizations kelompok study pajak, dan yang terakhir adalah Gyoshubetsu seisan soshiki (production groups) yaitu kumpulan para kelompok produksi. Dengan tipe keanggotaan tersebutlah yang menjadikan komponen di dalamnya menjadi satu kesatuan, jika salah satu komponen jaringan sosial di dalamnya keluar atau terputus, secara tidak langsung akan membuat produksi pertanian menjadi berantakan/tidak terlaksana. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pemerintah Jepang selalu memberikan penyuluhan di setiap unit koperasi pertanian Jepang.  

Selain melakukan penyuluhan, Nokyo pun banyak pula diatur oleh UU mengingat bahwa dasar UU Jepang adalah bersifat demokrasi, kapitalis, serta liberty tetapi berdasar pada kegotongroyongan. Dengan adanya basis UU tersebut, diharapkan Nokyo dalam jaringan sosialnya tidak hanya digharapkan mampu untuk tunduk  pada UU  Koperasi Pertanian (Nokyo Kikan Teki Jigyo) saja tetapi mampu pula untuk diatur dan tunduk pada selain UU Koperasi Pertanian (Fukateki Jigyo), yang meliputi; Farm Management Consigment (Jutaku Nogyo Keiei Jigyo);  Agricultural Land Trust Business (Nochi Shintaku Jigyo); Residential Land Business (Takuchi Nado Kankei Jigyo); Credit and other related bussness (Shinyo Jigyo Kankei Fuka Jigyo); Credit Business to Non Member Institutions (Tokubetsu Shikin Kashi Tauke no Jigyo), serta dapat mampu untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan bisnis yang diatur dan tunduk secara khusus pada UU tersendiri seperti UU Bisnis Pergudangan Pertanian (Nogyo Soko Gyo Ho), UU Kantor Pos (Kani Yubinkyoku Ho), UU Asuransi Kesehatan (Kyukomin Kenko Hoken Ho), dan UU Pokok Pensiun Petani (Nogyosha Nenkin Kikin Ho).

Sehingga dengan berbagai interaksi dalam jaringan sosial tersebut Nokyo tidak hanya mampu untuk berjalan sesuai dengan yang diharapkan saja tetapi mencegah timbulnya  ketidakmerataan pada sistem bisnis maupun produksi koperasi Jepang. Karena seperti yang diketahui, bahwa dalam koperasi pertanian Jepang sistem kegotongroyongannya atau relasi sosialnya berdasarkan pada kualifikasi kemampuan petani Jepang, sehingga apabila posisi kelompok, organisasi maupun komunitas dalam sistem relasi sosial Nokyo dapat berjalan dengan baik maka akan memberikan hasil yang baik pula bagi pemberdayaan akses koperasi pertanian Jepang. Karena dengan kuatnya jaringan proposisi bisnis pertanian Jepang dan semakin lemahnya ikatan sosial maka akan memberikan asosiasi positif bagi sumber produksi pertanian di Jepang. 

Tetapi hal ini sedikit berbeda dengan KUD di Indonesia, dimana dalam inpres 4/1984 dalam pembinaan dan pengembangan KUD banyak sekali departemen yang harus terlibat didalmnya untuk membina usaha KUD. Bahkan dalam sistem kerjanya pun, banyak pihak yang harus terlibat secara terpadu dan berkoordinasi dalam tugasnya di dalam KUD, karena melihat bahwa dalam inpres 4/1984 merupakan titik awal dalam menjalankan penyuluhan KUD. Selain itu, dalam instruksi presiden RI No 4 Tahun 1984 Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa pengembangan KUD diarahkan agar KUD dapat menjadi pusat layanan kegiatan perekonomian di daerah pedesaan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional dan dibina serta dikembangkan secara terpadu melalui program lintas sektoral.[3] Disini pun terdapat hubungan mekanisme integrasi hubungan formal maupun informal pada level tataran mikro, yaitu individu yang tergabung di dalamnya (siapapun tidak dibatasi), meso (kelompok ataupun organisasi) serta tataran makro yang berupa lingkungan kebijakan (policy environment/ pemerintah). Dalam KUD pemerintah sebagai tataran makro berusaha untuk memberikan masyarakat selaku anggota dalam koperasi Indonesia agar dengan mudah menikmati kemakmuran secara merata dengan tujuan masyarakat yang adil dan makmur agar mampu untuk mencapai  pembangunan di bidang ekonomi, misalnya dengan memberikan kredit kepada pihak-pihak yang ekonominya masih lemah atau rakyat kecil terutama di daerah pedesaan.

Dalam usahanya, KUD diarahkan pada usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota, baik untuk menunjang usaha maupun kesejahteraannya. Melihat kebutuhan anggotanya yang dapat dikatakan beranekaragam, maka usaha koperasi multipurpose, dalam hal ini KUD  adalah menjadikan koperasi mempunyai beberapa bidang usaha, dalam hal usaha simpan pinjam, perdagangan, produksi, konsumsi, kesehatan, dan pendidikan. Karena dalam  peranannya KUD tidak semata-mata hanya mencari benefit dalam bidang pertanian seperti Nokyo. Mengingat bahwa dalam KUD, economic productive resource lebih diperhatikan dibandingkan sumber-sumber non-ekonomi produktif, seperti gotong-royong, dan sistem kerjanya. Dalam hal ekspor barang KUD pun tidak membutuhkan adanya hirarki konsumsi untuk mencapai tingkat nasional. Sehingga dapat dikatakan bahwa muncul adanya ketertambatan (embeddedness) dalam tindakan non-ekonomi produktif dalam kegiatan ekonomi KUD, yang akan mengakibatkan jaringan sosial KUD menjadi sulit untuk dibentuk.

Sehingga dengan hal itu, KUD akan berperan lebih baik lagi apabila jaringan kerja koperasi dalam aspek non-ekonomi dapat dimasukkan sebagai tindakan yang secara produktif, efektif, dan efisien mampu  mewujudkan pelayanan usaha koperasi maupun anggotanya, agar mampu bersaing dengan badan usaha lain diluar koperasi. Melihat bahwa dalam sistem pengelolaannya yang berbasis economic productive resource telah dibentuk oleh KUD sebaik mungkin maka tidak ada salahnya apabila beberapa jaringan kerja seperti yang telah disebutkan diatas mampu dikelola dengan baik. Agar dalam sistem jaringan kerja pemasaran, produksi, keuangan, personil, pembelian, sistem informasi manajemen dan organisasi dapat berjalan dengan yang ditentukan. Begitu pun dengan faktor internal, seperti peran serta anggota, aktivitas dan sumber daya manusia serta faktor eksternal terhadap kinerja KUD sangat dibutuhkan dalam pembentukan koperasi di Indonesia khususnya di pedesaan. Hal ini karena peran serta anggota merupakan faktor penentu terhadap kinerja KUD. Dengan kata lain, kegiatan pengelolaan harus melibatkan anggota secara aktif jika dalam jaringan kerja KUD dapat berhasil, seperti misalnya membuat perencanaan, meningkatkan modal koperasi dengan cara meningkatkan partisipasi anggota dalam proses pemupukan modal.


[1]Diakses dari  http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE27-1a.pdf, pada tanggal 28 Mei 2011, pukul 16.46 WIB.
[2] Slide matakuliah Sosiologi Ekonomi, pembahasan pak Sudarsono mengenai  Gerakan Koperasi.
[3] Diakses dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/29545/A85WGU.PDF?sequence=1, pada tanggal 28 Mei 2011, pukul 16.05 WIB.